Rabu, 27 Agustus 2014
Ketika matahari pagi sudah mulai meninggi, Langkah kakiku yang sedikit malas mulai menuju ke luar rumah dengan mengenakan baju kotak-kotak, setelan rok abu-abu dan jilbab merah. "Pak dar, ke Stasiun UI dong, Pak!" seruku kepada pria berusia tidak jauh berbeda dengan ayahku itu. Beberapa menit kemudian mobil kijang inova silver keluar dari garasi tak berpintu di sebelah rumahku. Gerbang luar sudah terbuka lebar seolah-olah menungguku untuk keluar dari pekarangan rumah.
Mobil pun mulai berjalan meninggalkan si 'gerbang hijau'. sekitar 10 menit aku sampai di Stasiun Universitas Indonesia. Aku membeli kartu THB dan ongkos untuk tujuan ke Stasiun Juanda. Cukup menguras tenaga ketika aku harus berada ditumpukkan manusia di dalam satu gerbong khusus wanita dan bertahan dengan posisi berdiri selama kurang lebih 30 menit.
Setelah sampai di stasiun tujuanku, aku turun dengan perasaan lega, aku bersyukur ketika itu tidak banyak keringat yang terproduksi seperti pengalaman sebelum-sebelumnya. Perjalanan dilanjutkan dengan menaiki bus transjakarta selama kurang lebih 30 menit, dengan tetap dalam posisi berdiri.
Akhirnya aku sampai di halte grogol 1, setelah itu aku mulai masuk ke dalam gedung FTSP Universitas Trisakti yang tidak jauh dari halte, menaiki lift menuju lantai 8, dan bertemu dengan teman asal Sumbawa yang berambut lumayan panjang untuk ukuran seorang pria. Kami menemui wanita berjilbab berumur sekitar 40-an untuk mengonsultasikan KRS kami. Wanita ceria berbadan sedikit gemuk dan pakaian yang rapi itu menoleh ketika mulai sadar akan keberadaanku dan temanku di dekatnya.
"Putri, ya?" sapa wanita itu sambil melihat ke arahku.
"Pagi, Bu Popi," sapaku balik dengan senyum yang menempel di bibir.
***
Matahari sudah berada tepat di atas kepala, ketika itu aku tiba di rumah dan mulai memuaskan dahagaku. Aku mulai menghabiskan waktuku berada di depan laptop Asus pemberian Om Hedi yang seharga DP motorku itu. Aku terus berkutat pada laptop hingga tak sadar waktu Ashar hampir usai, aku pun istighfar dan memohon ampun pada Allah dengan kelalaianku yang disebabkan oleh hanya sebatang benda mati itu. Tak beberapa lama kemudian kakak perempuanku datang bersama anak perempuan satu-satunya, Kaika. Hari semakin gelap, kakak ke-2 ku datang bersama istri dan anak laki-lakinya, Rezel. Jadilah suasana ramai di rumah sederhanaku itu.
Ketika langit mulai gelap dan jam menunjukkan angka 7, dua kakak laki-lakiku yang lain masuk ke rumah dengan pakaian rapi dan helm yang menempel di kepala mereka dari pintu belakang. "Motor Riri Iyo mana?!" serunya kepada semua penghuni rumah termasuk aku yang kebetulan sedang berkumpul di ruang keluarga. "Hah? ilang?" ucap salah satu dari kami.
"Ada yang make kali, Riri make nggak?" ucap mama.
Tiba-tiba Riri keluar dari kamar mama, "nggak, seharian ini Riri nggak make motor!" gumam riri panik. "Fuda kali?" saat itu juga Riri menangis. Memikirkan nasibnya tanpa motor.
Ya ampun, disini yang repot bukan kamu aja, situ juga nggak pernah ngunci gerbang 'kan? dasar ABG labil, gerutuku dalam hati.
"Fuda belum pulang, motornya juga nggak ada, jadi nggak mungkin fuda deh kayanya," ujar Dali--kakak tepat diatasku.
"Mungkin aja, coba telpon Fuda deh!" seru mama dengan wajah kesalnya. Ketika Dali menghubungi Fuda, mama meneruskan omelannya dan berkali-kali menyalahkan anak-anaknya yang kurang peduli untuk mengunci pintu dan gerbang tiap malam dan kebiasan anak laki-lakinya yang pulang terlalu malam bahkan sampai pagi, meskipun semuanya beralasan.
Kami sudah mulai berinisiatif untuk melaporkan kejadian ini ke polisi, namun setelah menghubungi kakak tertuaku, dia menyarankan untuk tenang dan lebih baik melaporkan kejadian ini besok berhubung tenggang waktu melapor maksimal 3 hari setelah peristiwa terjadi.
Ketika kondisi mulai sedikit tenang, Dali dan Jaza--dua kakak yang pertama kali mengetahui peristiwa tersebut--menaiki motor Jaza menuju Café Mr.U'U seperti malam-malam sebelumnya. Kini sudah menjadi rutinitas mereka mengunjungi café milik Jaza dan kedua temannya itu untuk mengecek kondisi sekaligus menjaganya sampai tengah malam bahkan sampai subuh. Kebiasaan itulah yang tadi sempat menjadi bahan omelan mama.
Beberapa menit kemudian kedua pria berjenggot tipis itu kembali sambil membawa berita mengagetkan. "ma, motornya ketemu ma!" teriak Jaza.
"Hah? ketemu malingnya?" ucap seseorang dari kami yang masih ribut di ruang keluarga.
Aku berjalan mendekati kedua pria itu dan melihat Dali berjalan ke arah yang berlawanan dengan senyum melebar.
"Si Ucup ninggalin motornya di tukang fotokopian!" gumam Jaza sambil menunjuk Dali.
"lah, kok bisa?"
"iya, ucup tadi pas disuruh mama motokopi naik motor, pas pulangnya dia jalan kaki." ujar Jaza sambil berjalan ke ruang keluarga bersama pria dengan senyum yang memperlihatkan gigi-gigi besar di sebelahnya.
Aku memukuli pria berkumis di sebelah jaza itu pura-pura sambil tertawa. Semua penghuni rumah menyorakinya.
"Huaa... ucup nyebelin!" seru Riri dengan tangisannya yang semakin menjadi.
"laah, bersyukurlah, Ri, nggak jadi ilang!" ucapku sedikit jengkel dengan responnya yang berlebihan. "iya, harusnya bagus nggak jadi ilang," ucap kakak ke-2 menguatkan pendapatku. Namun ABG labil itu tetap menangis, entah apakah itu bahagia atau kesal.
"ucup ni emang.." ucap seseorang. Dali menimpalnya, "abis mama nyuruhnya pas ucup baru bangun tidur, masih blom bener-bener sadar."
***
Pengalaman hari ini menyadarkan semuanya untuk selalu mengunci pintu setiap malam dan jangan mengigau ketika di jalan. Selesai.