Minggu, 27 November 2011

[FF] My Preciuos Love Part 2

PART 2_

"Kau dan Guruku, kalian ada hubungan apa?"

Yoona terdiam sejenak. Dia membalikkan tubuhnya ke arah sang adik dan menatapnya. Wajah Jaeri terlihat begitu serius mengajukan pertanyaan itu. Yoona tersenyum.

"Dia, dia itu mantan kekasihku."

***

Jaeri membelalakkan matanya, tidak percaya dengan pernyataan bahwa dunia tidak seluas yang ia kira. Dia mendekati kakaknya. "K-kapan?"

Dengan tetap tersenyum, Yoona mengerutkan alisnya pertanda sedikit kecewa, "Saat kami berada di universitas yang sama. Dulu dia teman yang baik, bahkan sudah kuanggap sebagai kakak sendiri, tapi aku tidak pernah menduga jika dia akan menyukaiku."

"Kemudian Kakak menerimanya?"

"iya, dan aku menyesal dengan keputusanku itu, aku mengecewakannya. Perasaanku terhadap dirinya hanya sebatas sahabat." Kemudian Yoona terdiam.

Jaeri tidak puas dengan informasi yang di dapat, ia pun kembali bertanya,"Suami Kakak?"

Sekejap Yoona menatap Jaeri, kemudian menundukkan pandangan. "Suamiku adalah penyelamat bagiku sekaligus penghancur bagi Minho. Suamiku berhasil mencuri perhatianku. Aku memang bodoh, aku tahu dia kekasihku, tapi saat itu tidak kuanggap sebagai kekasihku dan justru aku malah berpaling. Karena itu mungkin Minho tidak mau lagi bertemu denganku."

"Sejak kapan kalian tidak bertemu."

"Terakhir kali aku bertemu dengannya mungkin sudah setahun yang lalu." Yoona kembali nmembalikkan tubuhnya dan menata beberapa belanjaannya ke lemari yang berada di dapur yang tidak bersekat dengan ruang makannya. "Oh ya, memang ada apa? apa kau menyukainya?"

Tiba-tiba saja jantung jaeri tersentak, seakan-akan mendapat serangan yang mengejutkan, "K-kakak apa-apan sih, tiba-tiba menanyakan hal aneh seperti itu!?"

"Mwo-ya? kau tidak suka?" Yoona menoleh ke arah Jaeri, didapati adiknya yang sedang memejamkan mata. Melihat tingkah adiknya, Yoona sudah tahu. "Kau suka 'kan?" Ujarnya sambil tersenyum, namun tidak ada respon dari Jaeri selain matanya yang kembali terbuka. "Aku tahu kau pasti suka dengannya, dari dulu kau suka dengan pria yang jauh lebih tua darimu, iya 'kan?" lanjutnya disertai dengan tawa kecil, tapi langsung mereda. "Berjuanglah!"

Jaeri menatap kakaknya yang tersenyum manis dan kembali membereskan barang-barangnya. "Berjuang? kenapa?"

Setelah barang-barangnya sudah rapi, Yoona duduk di sebuah sofa di ruang keluarga yang juga tak bersekat dengan ruang makan. "Minho, dia pria tampan, pintar, dan mudah di ajak bicara. Tapi kau akan sangat sulit mengetahui perasaan di dalam hatinya. Tapi juga akan sangat berbeda jika dia sudah memberi tahu perasaannya padamu, dia akan terus terang dengan perasaannya di setiap keadaan. Mmm, mungkin menurutku akan sangat sulit untuk mencapai sana."

"Kenapa?"

"Dia bukan orang yang ingin terjatuh dua kali. Dia tidak akan mengulangi kesalahan yang sama. Lebih-lebih jika itu kau, adikku sendiri. Kurasa dia akan sulit menyukaimu."

Jaeri terdiam. "Tapi bukan berarti mustahil 'kan?"

"Kenapa harus mustahil kalau adikku baik, pintar, dan mau terus terang?" Yoona lagi-lagi tersenyum. "Aku akan selalu berharap padamu, Jaeri, aku ingin kau juga memperbaiki hubungan kami. Aku benar-benar tidak tahu cara meminta maaf padanya jika dia terus menghindar dariku."

Suasana sunyi datang untuk beberapa saat. Tanpa bisa menjawab apa-apa, Jaeri berjalan menuju kamarnya. "Lelah, tidur dulu ya!"

"Baiklah. Oh ya, Jaeri, besok siang suamiku akan datang! Kalau bisa besok lekas pulang ya!"

Jaeri menutup pintu kamarnya dan berteriak 'iya' di dalam. Wanita itu membaringkan tubuhnya di atas kasur dan melamun. Yang terbayang pertama kali adalah wajah Minho, kemudian Yoona.

Kau itu kenapa? Kenapa begitu pengecut? Harusnya kau tidak menghindar dari kakakku, itu bukannya menimbulkan rasa sakit yang terus menerus ada? Kau pintar, tapi tidak cukup pintar dalam hal ini, tapi setidaknya kau lebih dewasa dalam menghadapinya. Tapi di sisi lain, tidak semuanya adalah kesalahanmu, kakakku juga salah. Kau dan dia? Aah, kenapa aku jadi kesal? Kak, kenapa kau kejam sekali padanya? Dia mencintaimu, tapi kau meremehkannya?

Jaeri berdecak dan menggeram sendiri, kemudian terdiam sesaat. "Andai aku jadi kakak, aku akan menerima dan menjaganya," ujarnya dengan bibir mengerucut.

***

Minho berbaring di atas kasurnya malam ini. Pikirannya melayang menjadi partikel-partikel yang tersusun di atas langit-langit. Partikel-partikel itu tersusun menjadi sebuah wajah yang dulu pernah ia cintai, seorang wanita.

Wanita itu tertawa, wanita itu tersenyum, wanita itu menangis. Ada saat dimana seorang pria datang dan mendekati wanita itu, awal dari kehancurannya. Ketika ibunya yang terjatuh sakit, tak dapat di tolong, dan akhirnya meninggal, justru wanita itu menikah dengan pria yang pasti bukan dirinya itu. Itu tidak lagi terasa sakit baginya, hanya ada rasa benci, benci, dan benci, juga penyesalan. Ketika wanita itu sedang bergembira, Minho tak bisa terbawa olehnya, wanita itu terlalu bahagia, hingga tak memperdulikannya. Dia hanya bisa meringis dengan rasa sakit yang bertubi-tubi. Adakah yang mengetahuinya? Hanya dia.

“Pensil saya hilang, Pak!”

“Di mana kamu menghilangkannya? Itu alasanmu saja kali!”

“Tadi di sini! Itu pensil saya satu-satunya, Pak!”

Tiba-tiba Minho bangkit dari tidurnya. Apa tadi? Batinnya.

“Pak, saya tidak bawa PR, PR saya kena hujan dan semuanya robek!”

"Pak! Tas saya tertukar oleh anak kelas satu, Pak!"

"Spatu saya hilang, Pak!"

“Saya mendengarkan Bapak, kok!”

Jaeri? Kenapa aku memikirkannya?

“Saya kira saya akan sanggup mengangkatnya kalau hanya segini.”

Aaah.. Apa kek, Bapak bisa melakukan apa saja terhadap saya!”

Minho tertawa kecil. Ia terdiam sejenak, kemudian tertawa kecil kembali.

“Anak yang lucu.”

Seketika pikiran wanita yang dulu di cintainya—Yoona—hilang dari bayangannya.

***

"Pak, usai kerja para guru akan makan-makan, tentu saja saya yang traktir, Bapak ikut tidak?" Seorang Pria berseragam olah raga berbicara pada Minho.

"Tidak perlu repot-repot, Pak, lagi pula saya ada janji," Ujar Minho sopan disertai dengan senyum tipis.

"Oh, kalau begitu saya duluan ya, Pak!" Pria itu melambaikan tangannya berpamitan. Setelah beberapa menit, dia bersama beberapa temannya mulai pergi dan mulai mengosongkan ruang guru.

Minho tersenyum kepada orang-orang yang menggodanya untuk ikut pergi bersama mereka dan hanya duduk di kursinya. Layar monitor di meja menyala. Minho membuka file yang sebelumnya dia minimize. Muncul sebuah dokumen gambar seorang wanita dengan rambut panjang ikalnya yang sedang tersenyum manis. Melihat gambar itu Minho dibawa untuk tersenyum namun cepat dia hapus dari wajahnya.

Dia menghela napas. “Ya, andai saja kau tidak menikah saat itu, aku masih mau berbaikan denganmu,” gumam Minho berbicara pada layar itu. Tiba-tiba saja ia teringat wajah Jaeri. Apakah dia masih menunggu? Gumamnya dalam hati.

Minho langsung bangkit dari duduknya dan menuju ruang matematika. Ketika sampai, didapati ruangan begitu rapih dan tidak ada orang sama sekali. Minho berpikir sebentar, kemudian kembali mencari. Beberasa saat kemudian dua wanita berseragam berpapasan dengannya. “Permisi, apa kalian kenal dengan murid bernama Kwon Jaeri?”

Wanita dengan rambut terkuncir berbicara, “Kenal, ada apa, Pak?”

“Apa kalian tahu dimana dia?”

“Oh, dia sudah pulang dari tadi bersama teman-temannya! Kira-kira tiga atau empat jam yang lalu.” wanita itu menoleh ke arah temannya dan disambut anggukkan dari temannya.

“Oh, Kamsahamnida.” Pria itu sedikit merunduk memberi hormat dan kedua wanita itu melakukan tidak jauh dari yang dilakukannya.

Pulang duluan? Apa dia tidak apa-apa?

Dengan segera dia kembali ke ruang guru dan membawa tasnya kemudian keluar menuju parkiran motor. Namun tiba-tiba langkahnya terhenti. Dia baru teringat kalau hari ini dia tidak berangkat dengan motornya. Dengan berlari, akhirnya Minho menuju halte bus dan pergi menuju rumah Jaeri.

Sesampainya di sebuah pertigaan jalan menuju rumah Jaeri, Minho melihat seorang wanita dengan gaun bercorak bunga selututnya. Minho mendekati wanita itu, “Ya! Wanita lesbian! Kau lihat Jaeri tidak!” ucapnya sedikit teriak.

“Hey, aku punya nama ya! Lagian mau apa tanya-tanya soal Jaeri, guru kok perhatian sekali.”

“Saya perhatian karena kamu menakutinya! Sudah jawab saja, lihat apa tidak?”

“Aishh.. siapa yang menakutinya? Dasar.. Aku lihat dia pulang bersama temannya beberapa jam yang lalu, dan mereka cantik-cantik. Tapi bereka malah—“ ucap wanita itu masih berlanjut dengan wajah berubah-ubah, dari marah, tersenyum, kemudian cemberut. Tanpa memperdulikan perkataan wanita itu lebih lanjut, Minho pergi menuju rumah Jaeri.

Beberapa menit setelah berjalan, Minho sampai di depan pintu rumanya. Tapi sebelum ia sempat mengetuk pintunya, wajah Yoona tiba-tiba terbayang di pikirannya. Tangannya yang awalnya bersentuhan dengan pintu, kini ia turunkan. Sesekali berdehem untuk mengumpulkan beberapa keberaniannya. Dan akhirnya ia mengetuk pintu.

“Sebentar,” ucap seorang wanita yang Minho simpulkan bahwa itu suara Yoona. Sesuai dugaannya, muncul Yoona dari seberang pintu. “Ah, Minho-yah? Ada apa?”

“Saya mencari Jaeri, apa dia ada?”

Yoona menatap wajah Minho yang terlihat dingin, kemudian dia tersenyum, “Kau masih seperti dulu ya.”

Minho mengangkat alisnya, “Apa?”

“Lihat wajahmu, menyembunyikan perasaanmu dengan sangat baik. Meskipun aku tahu kau menyembunyikannya, tetap saja aku tidak tahu apa perasaanmu sekarang, kau tidak akan memberitahuku, iya ‘kan?” Yoona tersenyum tulus, dia tahu pertanyaannya tidak akan di jawab Minho, dia pun membuka pintunya lebih lebar lagi sehingga terlihat Jaeri dan seorang pria berada di dapur yang langsung terlihat dari sudut Minho berdiri. “Jaeri-ah! Gurumu mencarimu!”

Jaeri menoleh ke arah luar. “Bapak?!” Mata Jaeri membulat. Dengan matanya yang masih seperti itu, ia berjalan cepat ke depan pintu. Ketika itu Yoona kembali ke dapur dan membantu suaminya untuk memasak.

“Bapak mau apa kesini?” bisik Jaeri ke pria yang berdiri di depannya.

Minho tak menjawab, dia hanya terpaku pada pemandangan wanita dan pria di belakang Jaeri.

“Bapak?” untuk kedua kalinya Minho tak menjawab. Dengan cepat Jaeri menyadari apa yang dilihat pria itu. Jaeri pun menoleh ke belakang. “Kak! Aku tinggal sebentar ya! Aku ada urusan dengan guruku!” teriak Jaeri.

Ketika itu, makanan yang Yoona dan suaminya buat telah selesai. “Yasudah, nanti pulang jangan lupa makan ya! Setelah makan aku dan suamiku langsung pergi!” Ujar Yoona ikut berteriak.

Jaeri mendorong tubuh Minho yang masih terpaku keluar dari ambang pintu. “Iya, Kak!” Kemudian menutup pintu rapat-rapat. Jaeri melepaskan dirinya dari mendorong pria yang jauh lebih besar darinya itu. Jaeri terengah-engah. “Pak, sadar, Pak!”

“Tadi itu.. mereka?” gumam Minho dengan tatapan yang masih lurus ke depan.

Jaeri menghela napas. “Sudahlah, Pak, masa lalu tidak perlu di ingat lagi. Memang sakit sih..” Ujar Jaeri santai. Karenanya, Minho menatap wanita itu dengan tatapan yang seperti baru saja mendengar peramal berbicara. Jaeri mengerti dengan tatapan itu. “Iya, saya tahu dari kakak saya. Dulu bapak kekasihnya ‘kan?”

“Kau tahu dari mulutnya langsung?”

“Dari telinganya, Pak! Tentu saja dari mulutnya.. Sudahlah, lama-lama saya kesal dengan ekspresi Bapak yang sekarang, tidak terlihat tegar!” Jaeri menepuk-nepuk lengan pria itu dan mengatakan kata ‘sadar’ berulang kali.

Minho tertawa dengan cara Jaeri menyadarkannya. “Baiklah-baiklah. Saya sudah sadar. Tapi ngomong-ngomong, kenapa kita ada di luar?”

“Memangnya Bapak mau masuk ke dalam??”

Minho terdiam, kemudian tertawa kecil. “Yasudah saya pulang, kamu masuk saja!”

“Tidak mau! Tunggu sampai mereka pulang saja.”

“Loh? Kenapa?”

“Apa enaknya berada di tengah-tengah sepasang suami istri? Yang ada iri.”

Lagi-lagi Minho tertawa. “Kau harus belajar yang rajin dulu baru boleh menikah.”

Melihat tawanya, Jaeri hanya dapat tersenyum. Aku ingin terus membuatnya tersenyum, batin Jaeri. “Pak, jalan-jalan sebentar, yuk!”

“Jalan-jalan? Dari pada membuang waktu harusnya kamu belajar!”

“Aaah, belajar terus.. sekali-sekali refreshing, Pak!”

Minho tersenyum. “Baiklah.”

Beberapa menit setelah mereka berjalan, mereka sampai di sebuah taman di pinggir kota. Letaknya tidak jauh dari rumah Jaeri. Karena lelah, mereka berdua duduk di sebuah bangku taman.

“Hari ini lumayan panas ya, Pak!” Tidak ada jawaban dari Minho, dan itu mengundang Jaeri untuk menoleh ke arahnya. Didapati Minho sedang mengusap dahinya yang berkeringat. Jaeri tersenyum. “Saya tidak pernah melihat Bapak berkeringat sebanyak itu.”

Minho sedikit terkejut dengan perkataan Jaeri, “Benarkah? Sebanyak itukah keringat saya?”

Jaeri tertawa. “Tidak, tapi Bapak jarang berkeringat.” Tiba-tiba Jaeri berdiri. “Eh, di sana ada yang jual es krim, Bapak mau?”

Minho tersenyum kemudian mengangguk pelan. “Boleh.”

Jaeri berjalan menuju sebuah kios yang letaknya tidak jauh dari tempat mereka duduk. Beberapa saat kemudian Jaeri telah kembali dengan dua corn eskrim di tanganya yang mulai mencair. Dengan buru-buru Jaeri mendekatkan salah satu eskrim ke depan Minho.

“Kamsahamnida.”

“Hati-hati, Pak, nanti kena jas Bapak!”

Baru saja diperingati, lelehan eskrimnya mengenai jas Minho yang berwarna hitam. “–Ah, bagaimana ini?”

Jaeri merogoh sapu tangan di saku celananya. “Ini, Pak!” Jaeri memberikan sapu tangannya.

Ketika Minho mengambilnya dan mencoba membersihkan noda di jasnya, eskrim yang ada di genggamannya menetes lagi.

“Sini saya bantu, Pak! Bapak habiskan dulu eskrimnya!”

Minho hanya menuruti kata-kata Jaeri. Sementara Minho menghabiskan eskrim, Jaeri mengusap-usapkan sapu tangannya di jas dan celana pria itu. Ketika itu, wajah Jaeri begitu serius, membuat senyuman Minho tersungging di bibirnya.

CKREK

Seorang pria dengan kameranya berdiri tidak jauh dari tempat Jaeri dan Minho duduk. Cahaya kameranya terlihat jelas oleh Minho, dan itu memunculkan firasat buruk di dalam diri Minho.

“Ya! Kau sedang apa?”

Wajah pria itu yang awalnya tertutup oleh kameranya sendiri mulai terlihat ketika ia telah menurunkannya. Pria itu tersenyum. “Aku hanya sedang memotret sepasang kekasih,” ucapnya sedikit berteriak karena kebisingan di sekitarnya.

Jaeri terkejut sekaligus senang mendengar kalimat yang ia anggap sebagai pujian itu. Tapi beda halnya dengan Minho, dia mendekati pria itu dan mengajaknya bicara. Jaeri hanya melihat dari kejauhan. Minho sempat merebut kamera pria itu kemudian mengembalikannya dan kembali berbicara.

“Yasudah sih, biarkan saja fotonya, apa salahnya dia punya foto kita?” Jaeri menggerutu sendiri. Beberapa saat kemudian Minho kembali. “Pak! Biarkan saja dia memotret sesuka hatinya, bapak tidak boleh mencampuri urusannya!”

Minho kembali duduk di sisi kanan Jaeri. “Tidak bisa begitu, kalau memang kita dijadikan sebagai objek, ada kewajiban untuknya meminta izin pada kita, kita pun punya hak untuk menolaknya, kecuali kalau bukan kita objek pusatnya.”

Jaeri terdiam sesaat, menurutnya kata-kata Minho dapat masuk di akal. “Aah, tapi Bapak segitu tidak sukanya sampai menghapus foto itu dari kameranya.”

Minho tertawa. “Sudahlah, lihat eskrimmu, mulai mencair juga tuh!”

“Ah, iya! Pak, bantu saya!”

Minho kembali tertawa, dia merebut sapu tangan dari genggaman Jaeri dan mulai mengusap lelehan eskrim yang ada di celana Jaeri, sementara Jaeri menghabiskan eskrimnya.

Dari kejauhan pria berkamera tadi kembali memotret mereka, kali ini tidak diketahui oleh keduanya. Pria itu tersenyum.

***

“Akhirnya malah pake air juga,” ucap Jaeri ketika mulai berjalan pulang.

Minho tertawa kecil. “Iya, lain kali tidak perlu memberi eskrim lah! Cukup merepotkan.”

“Benar juga.”

Jaeri dan Minho tiba di depan rumah Jaeri, dan mereka pun berpisah disana. Jaeri masuk ke dalam rumahnya, sedangkan Minho kembali pada perjalanannya ke rumah. Tapi tidak langsung pulang. Minho kembali menuju taman tempat tadi dia dan Jaeri duduk. Tidak lama kemudian pria dengan kameranya datang menghampiri.

“Apa kau sudah mencetaknya?”

“Tentu saja, ada dua, kau ambil yang mana?”

“... dua-duanya saja.”

“Ini.”

Minho menatap kedua foto itu, kemudian tersenyum.


-To Be Continued-

Sabtu, 26 November 2011

Berlebihan

Aku memberanikan diri
Aku berusaha merendah
Aku berusaha mengalah
Yang ada justru hanya sesal

Siapa yang salah?
Aku?
Dirimu?
Atau hanya salah paham?
Yang jelas semua itu membuatku kesal
Siapapun yang salah,
Perjuanganku tetaplah disebut sia-sia
dan semua itu berawal dari dirimu
DIRIMU! DIRIMU YANG SALAH!
SIAPA KAU?
KENAPA HANYA KAU YANG MEMBUATKU BEGINI?
KENAPA AKU BISA SEPERTI INI?
SEMUA KARENA KAU!
SEKARANG KAU MALAH MENGHILANG!
Mungkin ini adalah yang terakhir kalinya aku mengalah
Aku bukan orang yang ingin direndahkan
Aku bukan orang yang ingin hanyut dalam kepenasaran
Aku bukan orang yang ingin diremehkan
Aku bukan orang yang ingin dijatuhkan
Dan hanya karena itu, aku sudah merasa kau jatuhkan
AKU AKAN BERHENTI UNTUK MENGALAH!

Rabu, 23 November 2011

[FF] My Precious Love

Title : My Precious Love
Chast : Kwon Jaeri, Lee Minho
Genre : Romance
***

Tidak boleh kami terpedaya oleh senjatanya
Dia bukanlah saingan kami yang sepantasnya

Kendatipun dia hanya pelatih tanpa kemampuan bertarung

Tanpa kemampuan bertarung dengan kami

Para muridnya sendiri

Cambuknya mengantarkan kami untuk kuat
T
eriakannya mengantarkan kami untuk bersemangat

Kasih sayangnya mengantarkan kami untuk lebih baik darinya

Tapi adalah salah jika itu mengantarkan kami untuk mencintainya

Seharusnya, atau, biasanya..


“Untuk ulangan besok, silahkan kalian buka halaman 162.” Ujar seorang guru yang berdiri di depan sebuah kelas. Seluruh murid yang ada di kelas itu menuruti perintahnya.

Seorang pria yang kubenci sekaligus kupuja. Pria dengan kacamata yang menggantung di hidungnya, terkadang kacamata itu ia lepas dan membiarkan matanya telanjang.

Wajahnya yang santai, terkadang tanpa ekspresi namun tegas membuatnya terlihat bagai pria yang memiliki segudang ilmu.

“Bagian A tolong kalian kerjakan sekarang dan bagian B kalian kerjakan di rumah,” suruh guru itu kembali. Semua murid menyanggupinya kecuali seorang murid perempuan yang duduk di pojok belakang yang sedang menatap ke depan.

Pria bertubuh ramping dan jangkung mengenakan kemeja putih yang membuatnya terlihat begitu dewasa dengan umurnya yang muda dari kebanyakan pria seperti dirinya.

Sang guru mendekati murid perempuan itu dengan wajah yang seakan-akan berkata lagi-lagi-dia. “Jaeri-ah!” serunya dengan suara yang sedikit keras dan kasar.

“Ada apa?”

“Ada apa?” Sang guru mengerutkan dahinya, “kamu tidak suka pelajaran saya ya? Dari kemarin kamu tidak mengerjakan apa yang saya suruh! Sebenarnya apa yang kau lihat sejak tadi?”

“Saya memperhatikan penjelasan Bapak, kok! Bapak aja yang nggak sadar!” ucap murid itu sedikit keras. “Saya tidak memperhatikan, salah, saya sudah memperhatikan, salah juga. Bapak selalu memarahi saya!”

“Bukan begitu, kamu tidak mengerjakan apa yang saya suruh. Kemarin saya suruh mengerjakan soal, yang lain mengerjakan, kamu tidak. Kamu suka ya saya hukum?”

“Saya tidak de—“

“Tidak dengar karena kamu duduk di paling belakang? Alasan itu sudah sering kamu gunakan. Sudahlah, Kamu saya hukum, sepulang nanti kamu tidak boleh pulang dulu!”

“Tapi pak!”

“Sudah diam! Saya tidak ingin mendengar suaramu mengganggu saya dan teman-teman yang lain!” Guru itu membalikkan tubuhnya dan kembali ke meja guru.

Wanita itu menggerutu sebal. Tapi di balik gerutunya sebuah senyuman tersembunyi dan semakin lama semakin terlihat. “Memang itu yang aku inginkan.”

Pria muda yang lebih tua dariku itu bernama Minho. Guru matematikaku.




***
“Ya.. Jaeri-ah! Kamu tidak bosan di hukum terus? kita jadi tidak enak selalu ninggalin kamu sendiri,” guman seorang wanita, “kita sudah lama tidak pulang bareng.”

“Bosanlah.. yang kutemui guru itu lagi-guru itu lagi.. maaf ya aku juga jadi tidak enak.”

“Yaudahlah.. kita pulang duluan ya, Anyeong!”

Jaeri hanya melambaikan tangannya dan melempar senyum ke arah mereka. Setelah dua temannya sudah tidak terlihat dari pandangannya, Jaeri berlari kecil ke ruang matematika dan mendapati seorang pria berkemeja putih telah menunggu.

Pria itu bersandar pada meja dengan tangan dilipat di depan dada, “sudah selesai pamitannya?”

Jaeri mengerutkan wajahnya “Kenapa sih pak? saya kan tidak enak dengan teman-teman saya.”

Pria itu menghela napas dan berdiri dari sandarannya, “yasudah, bantu saya mengoreksi nilai.”

“Baik, pak!” ucap Jaeri penuh semangat dan itu membuat pria berumur 25 di depannya mengerutkan dahi.

“Kamu itu kenapa sih? Saya hukum kok senang?”

Wanita berambut pendek itu tertawa pelan. “Ani.. aku kan jadi bisa melihat nilaiku dan nilai teman-temanku duluan,” Ujar Jaeri riang tanpa ada tanda-tanda kebohongannya. Atau mungkin bisa melihat guru dari dekat.

Minho mengangkat kedua alisnya dan tertawa kecil, “terserah kamulah.”

Selama setengah jam hukuman mengoreksi nilai telah usai. Pria dengan kacamata itu menutup pulpennya. “Akhirnya selesai. Jaeri-ah! Tolong kau angkat semua buku-buku ini ke dalam lemari!” suruhnya sambil menunjuk lemari dengan pulpen di tangannya.

“Oh, oke.” Dengan tangannya yang kurus, Jaeri menopang tumpukan buku dan membawanya ke lemari. Tapi sebelum sampai di depan lemari, buku-buku itu jatuh berserakan ke lantai.

Suara gemuruhnya mengagetkan Minho, ia langsung menghampiri Jaeri.
“Aigoo.. kamu ini bagaimana sih? Harusnya jangan langsung semuanya di bawa.”

“Ma-maaf pak, saya kira saya akan sanggup mengangkatnya kalau hanya segini,” gumam jaeri sembari memungut beberapa buku di bawahnya.

Minho menghela napas. “Kau ini ada-ada saja.” Pria itu mulai merendahkan tubuhnya dan berusaha ikut memungut sebagian buku yang ada depan jaeri.

Melihat pria itu mulai mendekat, wajah Jaeri memucat dan memerah secara bersamaan.
Tuhan.. wajahnya dekat sekali.
Jaeri tidak melanjutkan tangannya untuk memungut buku-buku itu, dia terpaku dengan pemandangan di depannya. Matanya pun tidak berkedip.

Lagu apa ini? seperti ada lagu klasik yang terdengar di pikiranku. Dia terlalu tampan untuk menjadi guru, bukan, dia seperti pangeran di mataku.

“Ya!” ucap pria itu menyadarkan lamunan Jaeri, “Kenapa kamu bengong saja? Bantu saya!” perintah guru itu sedikit sebal. “Kamu yang menjatuhkannya kok justru saya yang pungut.”

Jaeri menggelengkan kepalanya pelan menyadarkannya kepada kehidupan nyata. “Ma-maaf, pak. Saya teringat sesuatu.” Jaeri kembali memungut buku, tapi semuanya telah dibawa Minho masuk ke dalam lemari.

“Sini bukunya!” Ujar pria itu memberi tangannya.

Dengan gugup Jaeri memberikan 3 buku yang ada di genggamannya kepada Minho. “Maaf pak, mungkin ada yang bisa saya lakukan lagi?”

Setelah menaruh buku-buku di lemari dengan rapi, Minho membalikkan tubuhnya dan menatap ke arah jaeri yang masih duduk di bawah. Dia kembali menghela napas, “ sudah, kamu sudah boleh pulang.”

“Loh? Tumben jam segini sudah boleh pulang?”

“Memangnya kamu tidak mau?” Minho berdecak.

Kalau aku pulang nanti aku bertemu orang menyebalkan itu.

“mungkin saya bisa bantuin beresin kelas.”

“tidak usah.”

Aku lebih suka berlama-lama di sini dari pada bertemu orang itu. Tentu saja.

“Atau saya bisa mengepel kamar mandi!”

“Kamu tidak perlu melakukan itu.”

“Saya buatin minum, pak!”

“Saya tidak haus, sudah kamu pulang saja saya tidak marah kok.”

“aah.. apaan kek, Bapak bisa melakukan apa saja terhadap saya!”
Tiba-tiba suasana sunyi. Jaeri menutup mulutnya dengan tangan. Aduh, bicara apa barusan?

Pria tampan itu merendahkan tubuhnya, “Apa?”

Tanpa bisa menjawab, Jaeri hanya bisa terdiam dan memejamkan mata. Apa yang harus aku lakukan? Aku harus lari atau bagaimana? Melihat wajahnya saja aku tak sanggup.. aku terlalu malu. Apa aku harus menjelaskannya kalau tadi hanya caraku untuk menghindar dari orang gila itu? Ucap Jaeri dalam hati.

Setelah menemukan apa yang akan dia lakukan, dia kembali membuka matanya. Tiba-tiba Minho sudah ada di depan wajah Jaeri, itu membuatnya terkejut dan mundur. “b-ba-bapak?!”

“Apa? Apa yang kau katakan tadi?” pria itu menatap Jaeri dalam. “Melakukan apa saja?” pria itu tersenyum dan kembali mendekat lebih dekat dari sebelumnya.

Jaeri ketakutan. Dia tidak pernah menyangka guru matematikanya akan berbuat sesuatu yang tidak pernah ia bayangkan. Jaeri tidak bisa berbicara, tiba-tiba bibirnya kelu. Dia hanya bisa memejamkan mata dan menutup wajahnya dengan kedua lengannya. Aku anak baik-baik, aku anak baik-baik, aku tidak ingin ini terjadi!

Tiba-tiba terdengar sehela napas. “Aku minta kau pulang sekarang.”

Jaeri tiba-tiba merasa tidak terancam. Dia membuka mata dan lengannya. Didapati tidak ada orang di depannya, guru itu sudah berjalan ke arah meja di depan kelas.

“Lain kali kalau bicara dipikirkan dulu. Akan sangat berbahaya seorang wanita mengatakan hal seperti itu.” Minho telah sampai di depan mejanya kemudian duduk di kursi dekat meja itu.
“Sudah sana pulang! Ini sudah ke sekian kalinya saya minta kamu pulang.”

Tanpa mengatakan apa-apa, Jaeri berdiri dan mengambil tasnya. Dia membungkuk berpamitan kepada pria itu sebelum akhirnya keluar dari pintu.

Minho menatap wanita dengan rok hampir selutut itu berjalan keluar dengan tergesa-gesa. Dia tersenyum, kemudian tertawa kecil. “Anak yang aneh.”

Setelah wanita itu tidak terlihat lagi, Minho kembali pada pekerjaannya. Tapi tidak lama setelah itu terdengar suara langkah mendekati kelas. Dari ujung mata Minho terlihat bayangan seorang wanita berambut terkuncir dengan seragam SMAnya. Minho menoleh ke arah wanita itu. “Loh, kenapa balik lagi?”

Jaeri menggigit bibir bawahnya. Kemudian kedua tangannya terangkat dengan jemari yang saling terikat. “Kalau bapak tidak keberatan, bolehkah saya pulang bersama bapak? Saya mohon!” ucapnya hampir meringis.

Minho mengernyitkan dahinya. “Memangnya kenapa?”

Mendengar gurunya seakan memberi kesempatan, Jaeri menurunkan tangannya, “saya takut, di dekat rumah saya ada wanita yang mencoba untuk menggoda saya.”

Kembali Minho dibuat terkejut, mulutnya menganga. “Apa? Yeoja?”

Jaeri yang sudah menduga tanggapannya mengangguk pelan. “Kalau bapak keberatan, biarkan saya menunggu di sini.” Wanita itu menunduk malu, mengingat apa yang baru saja dilakukan gurunya.

Minho terdiam sejenak. “Arraso.. saya masih ada pekerjaan, jadi kamu duduk di sana saja dan tunggu saya sampai selesai, oke?” Tanpa menjawabnya, wanita itu duduk dengan senyum tersungging di bibirnya. Minho ikut tersenyum melihat tingkahnya.

Beberapa jam berlalu setelah Minho berkali-kali keluar masuk ruangan dan berkali-kali Jaeri mengeluh bosan, akhirnya pekerjaan Minho terselesaikan.

“Akhirnya selesai juga,” ucap Minho lega. “Ayo pulang!”

“Sekarang jam berapa, pak?”

Minho menatap jam tangan yang melingkar di tangan kirinya. “lima lebih sepuluh menit, kenapa?”

Wanita berparas cantik itu bangun dari duduknya dan mengenakan tas yang sejak tadi ada di pangkuannya. “Saya rasa wanita lesbian itu sudah tidak ada di tempatnya, saya pulang sendiri aja, pak!”

“Jongmalyo?” Minho mengangkat alisnya.

“Mungkin.”

Minho menatap wajah wanita berumur 18 tahun itu, nampak ragu-ragu. Minho menghela napas, ia membelakangi wania itu dan mulai membereskan mejanya dan menaruh beberapa buku kedalam tas. “Untuk berjaga-jaga, kamu saya an—“ ketika pria itu membalikkan tubuhnya, Jaeri sudah keluar dari ruangan itu. “Anak itu benar-benar.. merepotkan.” Pria itu menjinjing tasnya kemudian keluar dari ruangan.

***
“Akhirnya aku bisa melihatmu, kau kemana saja akhir-akhir?”

“Eh? Emm..” Jaeri kehabisan kata-kata, dia menyesal dengan keputusannya menolak tawaran Minho.

Wanita dengan gaun bercorak bunga selutut itu menghampiri Jaeri hingga Jaeri mundur dan tertahan oleh sebuah tembok. Wanita itu mengepung Jaeri dengan tangannya, bibirnya mendekati telinga Jaeri. “Kita sudah lama tidak bertemu, harusnya kau menyapaku, ng?” ucapnya dengan suara hampir seperti bisikan.

“Apa yang akan kau lakukan, hah! A-aku akan menelpon polisi!” dengan gemetar, Jaeri merogoh ponsel di saku bajunya. Dengan pengontrolan tangan yang payah akibat ketakutan, ponsel Jaeri terjatuh dari genggamannya.

Wanita itu tertawa, “lucunya.. kamu hanya ingin menakutiku kan?” wanita itu mengelus pipi Jaeri pelan. Lagi-lagi wanita itu tertawa. “kamu benar-benar lucu.” Ia mendekatkan dirinya ke hadapan Jaeri dan mencoba untuk menciumnya. Jaeri yang ketakutan mencoba mendorong wanita itu ke belakang dengan sekuat tenaga.

“Ya! Hajima!”

Seorang pria berkemeja putih dengan tas yang menggantung di bahunya berdiri di ujung gang kecil tempat wanita itu membawa Jaeri. Pria itu mengatur napasnya yang ia pakai untuk berlari.

“P-pak guru?” Dengan cepat Jaeri terlepas dari pelukan wanita itu dan bersembunyi di balik punggung Minho.

“Sudah kuduga akan seperti ini,” bisik Minho ke balik punggungnya.

“Ya! Siapa kau? Mengganggu orang saja!” teriak wanita itu sambil mendekat.

“Kamu yang mengganggu dia, pulanglah! Kamu harusnya belajar untuk menjadi pintar bukan belajar untuk pintar menggaggu orang!”

“Tidak usah sok mengajariku deh! Memang kau siapanya dia, hah? Kekasihnya?”

Deg.. Apa yang akan dijawabnya?

“Bukan, aku gurunya,” gumam Minho dengan nada yang masih dapat dikendalikan.

Ah, sudah kuduga.

“Aku akan menelepon petugas keamanan untuk mengusirmu,” lanjut Minho dengan ponsel yang sudah berada di genggamannya kemudian menelepon ke bagian keamanan.

Tiba-tiba tangan Jaeri dicengkeram dan ditarik wanita itu, jaeri menahannya. “Ayo Jaeri, kita kabur bersama-sama, aku tidak mau kehilangan kamu lagi!” ujar wanita itu semaunya.

Karena tarikan wanita itu sangat kuat, jaeri sempat goyah dan tertarik, tapi di sisi lain Minho menarik lengan Jaeri dan membantu Jaeri untuk terlepas dari wanita itu. Di kejauhan, terlihat dua pria mengenakan baju seragam polisi jalanan mendekati lokasi mereka. Karena pemandangan itu, tarikan wanita lesbian semakin kuat, dan itu membuat Jaeri kesakitan.

Melihat ekspresi kesakitan Jaeri, Minho mencoba memeluknya dan menggamit tangan Jaeri yang ditaring wanita itu kemudian memutar tubuhnya hingga terlepas dari cengkraman lesbian itu.

“Ah, sial,” gerutu wanita itu dan mulai berlari menghindar dari kedua petugas yang sudah hampir mendekatinya.

Melihat ketiga orang itu sudah pergi menjauh, Jaeri menghela napas lega. “Akhirnya..”

Tak berapa lama kemudian, Jaeri baru menyadari posisi dirinya yang ada dalam pelukan Minho. Dengan pelan, Jaeri melepaskan diri dari pelukan itu, wajahnya memerah. Dan Minho yang juga baru tersadar, mulai membuka lengannya agar Jaeri dapat keluar, tapi wajahnya terlihat biasa walaupun sedikit kelihatan lega karena kejadian itu telah berakhir.

“Mulai besok, kau pulang dengan saya.”

Jaeri sedikit terkejut. “y-ye? Tidak usah repot-repot, Pak, lagian itu sudah biasa, saya bisa kok menghindar dari wanita itu sendiri.”

“Kau bilang yang seperti tadi itu ‘bisa’?” Mata pria berdarah korea asli itu menyeringai ke arah Jaeri. Jaeri hanya menunduk malu. “Karena saya guru kamu, saya merasa bertanggung jawab atas keselamatanmu, saya takut nanti terjadi apa-apa.”

Kenapa harus dikaitkan dengan hubungan sebagai guru dan murid sih? Bilang saja kalau mau menyelamatkanku dari wanita itu!

“Baiklah.”

Minho terdiam sebentar, tidak tahu apa yang sekarang harus dia lakukan. “oke, sekarang di mana rumahmu?”

Jaeri melihat ekspresi pria itu, terlihat berbeda dari biasanya yang masih bisa bersikap tenang, kini sedikit mengerutkan alis seperti orang khawatir. Lucu juga, batin Jaeri. Wanita dengan ransel merahnya itu mulai berjalan menuju halte di depanya. Sebuah bus berhenti di depan halte itu. “Ayo Pak, busnya sudah me—“ ujar Jaeri sambil menoleh ke belakang.

Tapi pria jangkung itu telah mengenakan helm hitamnya dan menaiki sebuah motor sport hitam. “Naiklah!”

Jaeri membelalakkan matanya, “B-bapak naik itu?”

“ne.. waeyo?”

Jaeri mendekati motor itu dengan wajah yang masih terlihat terkejut. “Aku tidak pernah melihat seorang guru mengendarai motor sekeren ini! Selera bapak sangat hebat.”

Minho tersenyum. “walaupun saya seorang guru, saya masih muda!” ucapnya sambil tertawa kecil. “yasudah, cepat naik!”

Dengan semangat , wanita itu naik ke belakang Minho.

“Ah ya, saya cuma punya satu helm, jadi kamu harus pegangan yang kuat ya!”

“P-pegangan? Pegangan di mana?” pundak? Atau pinggang?

“Pegangan di gagang belakang!”

“o-oh..”

Beberapa menit mereka dalam perjalanan, tibalah mereka di sebuah rumah sederhana dengan taman kecil di bagian halamannya. Jaeri turun dari tumpangannya.

Minho melepas helmnya. “Jadi, ini rumahmu?” ujar Minho turun dari motornya dan hanya dijawab Jaeri dengan anggukkan. “Apa kau tinggal dengan orang tuamu?”

Manik mata Jaeri menerawang ke atas. “mm, bisa dibilang begitu sih, tapi ayah saya lebih sering keluar kota, jadi saya lebih sering sendirian.”

“Kamu anak tunggal?”

“Saya punya kakak perempuan satu, tapi dia juga sudah jarang datang sejak pernikahannya tahun lalu.”

Minho mengangguk pelan mengerti. “Baiklah, saya pulang dulu ya!” pamitnya sambil membalikkan tubuhnya.

“Tunggu, Pak!” Sergah Jaeri membuat Pria di depannya menoleh. “Kalau bapak hari ini tidak sibuk dan tidak keberatan, tolong ajari saya pelajaran fisika ya, pak! Besok saya ada ujian.” Ucapnya sambil tersenyum memohon.

***
“Sekarang sudah jelas?”

“Sangat jelas! Waw, ternyata seru juga kalau sudah mengerti,” ujar jaeri riang.

Minho tersenyum.”Sebenarnya kamu itu tipe orang yang mudah mengerti, tapi kenapa nilai matematikamu selalu di bawah rata-rata? Apakah ada hubungannya dengan wanita tadi?”

Mendengar pertanyaan itu, senyum Jaeri berubah menjadi pahit. “Begitulah. Karena saya berusaha untuk menghindarinya, setiap pelajaran terakhir—“

“Jadi bukan pelajaran saya saja?”

“iya, setiap pelajaran terakhir saya selalu membuat kesalahan agar dihukum, itu juga kalau sedang beruntung dihukum saat pulang, makanya saya suka bapak yang menghukum saya karena bapak selalu menghukum saya sepulang sekolah.”

“Jadi selama ini kamu sengaja meremehkan pelajaran saya karena itu?”

Jaeri tertawa kecil, “sebenarnya saya juga sedikit malas dengan pelajaran bapak.”

“Aigoo, sudah saya duga.” Minho menjitak kepala Jaeri.

“Aw! Sakit!ah—Aiishh... tuhkan pak jadi tumpah!” Ketika Jaeri ingin mengusap kepalanya, gelas berisi jus jeruk yang hampir mengenai bibir meja tersenggol oleh tangan Jaeri dan tumpah di atas lantai dan seragamnya. “Semua jadi berantakan nih gara-gara bapak,” canda Jaeri.

Minho tertawa. “Maaf ya, ... makanya belajar yang rajin!”

“Apa hubungannya?!”

Jaeri mengganti bajunya dan membawa kain pel dari lemari pembersih. Jaeri membersihkan tumpahan dengan mulut yang masih mengoceh dan mengeluh dengan apa yang diperbuat Minho. Mendengarnya, Minho hanya tertawa.


“Jaeri, kakak pulang! Ah, ada tamu ya?” terdengar suara wanita dari halaman depan.

“Kakak?” Dengan semangat Jaeri berlari kecil ke arah pintu depan dan membukanya.

Seorang wanita dengan rambut hitam lurus sepunggungnya masuk sambil tersenyum. "Jaeri-ah! Sudah lama kita tidak bertemu, tubuhmu makin kurus!" Ucap wanita itu kemudian tertawa.

"Ya! kakak kali yang semakin gemuk!" Jaeri menepuk lengan kakaknya. Sejenak Jaeri melirik ke arah Minho kemudian kembali menatap kakaknya. "Oh ya, kak, Kenalkan ini guru matematikaku, Lee Minho."

Wanita itu menoleh ke arah ruang keluarga, dia melihat seseorang duduk dengan wajah yang sedikit terkejut namun dapat dikendalikan. Wanita itu mendekati Minho. "Minho-yah?"

Minho tersenyum tipis. "Anyeonghaseyo, Yoona-ah, kita akhirnya bertemu lagi.."

Jaeri menatap Minho dan kakaknya bergantian, "Loh, kalian sudah saling kenal?"

Belum sempat dijawab oleh keduanya, Lee Minho bangkit dari duduknya. "Sepertinya sudah sore, saya harus pulang. Kau sudah mengerti dengan yang saya ajarkan tadi 'kan?" Ujar Minho menunjuk ke arah Jaeri. "Kalau begitu saya pulang dulu, sampai bertemu lagi," lanjutnya sambil memberi hormat setelah Jaeri mengangguk meng-iya-kan.

Ketika Minho sudah di ambang pintu, Jaeri mendekatinya. "Pak, tidak ngobrol-ngobrol dulu dengan kakak saya? 'kan baru ketemu."

Lagi-lagi Minho tersenyum, "Maaf ya, tapi saya buru-buru."

"Apa tidak ingin makan dulu? Bapak belum makan sore ini."

"Terima kasih," ucapnya menatap Jaeri untuk terakhir kalinya lalu kembali melangkah keluar.

Aku tahu tatapan itu, tatapan menahan diri dari sesuatu.

Jaeri hanya bisa melepas Minho menuju motornya kemudian pergi. Jaeri melihat pria itu semakin lama semakin menjauh. Dia menghela napas, "Baru saja merasakan dia ada di dekatku."
Jaeri kembali masuk ke dalam rumah kemudian menutup pintu depan. Wanita dengan kaos coklat itu mulai mendekati kakaknya. "Kak, apa aku boleh menanyakan sesuatu?"

"Tanya saja," ujar wanita itu sambil menaruh tas dan sekantung belanjaannya di atas meja.

"Kau dan Guruku, kalian ada hubungan apa?"

Yoona terdiam sejenak. Dia membalikkan tubuhnya ke arah sang adik dan menatapnya. Wajah Jaeri terlihat begitu serius mengajukan pertanyaan itu. Yoona tersenyum.
"Dia, dia itu mantan kekasihku."

-To Be Continued-

Kamis, 17 November 2011

Just It



If i were him, I would be the firts to mention.
If i were him, I would be the one who give in.
but.. probably, i might be the one who prestige.
i can't lie with my heartself.
but i can't do it like someone who can't stand it.
If he read this, I will be happy like unnormaly men.
I just scream loudly and jump fro.
But may be not like that, i just do it in my heart.
I won't to you to be my a special boy
I just want to know the truth of your feeling about me.
Just it.

Rabu, 20 Juli 2011

Tidak sekarang

Apa yang kau lakukan? Semuanya sudah melampaui batas. Bukan seperti ini yang aku inginkan. Memang aku memimpikan hal yang seperti ini, tapi bukan hal yang ingin kujadikan kenyataan.
Setidaknya tidak saat ini.

Kau tahu? Mungkin kau tidak tahu
Jantungku ingin meledak berkeping-keping ketika melihat kau berdiri di depanku. Secara bersamaan kau seakan-akan seorang pangeran berkuda juga seorang pembunuh. Dirimu datang seperti yang pernah aku impikan, tapi dirimu datang untuk menjerumuskanku. Benar begitu kan?

Aku berharap kau mengenali kebiasaanku, kebiasaan untuk menghindar dari setiap pangeran di muka bumi ini. Dan karena kau, aku hampir saja ingin melanggarnya, itu adalah dosa besar. Siapapun bisa melakukan itu, tapi tidak semua, meskipun itu artinya hanya sedikit, tapi aku termasuk di dalamnya.

Semoga kau mengerti, kau memahami, dan tidak mengulang kebiasaanmu.

Kamis, 23 Juni 2011

Hasil UAS?

Setelah membaca beberapa blog teman saya mengenai UAS kemarin, nilai saya memang menurun, 90 jadi 80, 90 jadi 77, dll. Tapi, seperti teman-teman saya bilang, kita masih bisa bersyukur, karena semua itu kita dapatkan tidak dari hasil mencontek.

Tapi, saya takut ada rasa kecurigaan di dalam diri seseorang, siapapun itu (teman atau guru) menganggap saya curang. Saya sadar saat itu saya hampir memberi bocoran thdp teman saya, setelah saya sadar, saya cepat-cepat mengehntikan kecurangan itu.

Ada lagi, setiap waktu ujian hampir mendekati usai, saya selalu mencoba selesai tepat waktu, jadi terkadang saya menjadi salah satu siswa yang terakhir mengumpulkan. Saat itu satu dari teman terdekat saya sering menghampiri saya jika dia selesai lebih dulu, lebih tepatnya hampir setiap usai ujian per mata pelajaran. Dia duduk di kursi di depan saya. Saya harap itu tidak menimbulkan kecurigaan terhadap guru pengawas, memang tidak dinasihati, tapi kecurigaan itu bisa berakibat fatal saya rasa. Sebab itu membuat sang guru mengecap saya sebagai pencontek. pernah suatu ketika 2 mata pelajaran diawasi oleh guru yang sama, dan saya sadar beliau mengamati saya dan teman saya itu, mengamati saya hingga saya berjalan mendekati beliau untuk mengumpulkan jawaban. Beliau orang yang baik, dan menurut saya beliau adalah salah satu guru yang bisa saya ajak bicara, di depan beliau saya bisa bertanya sebanyak-banyaknya, tidak seperti guru2 lain; canggung, tidak percaya diri, dll. Dan saya akan sangat malu jika beliau menilai saya sebagai pencontek.

Karena kejadian itu, itu membuat pikiran saya sangat kacau. Bisa saja saya mengusir teman saya dari kursi itu, tapi itu tidak mudah seperti kelihatannya. Dia orang yang lembut, terlalu lembut, sampai2 saya tidak enak membuatnya harus pergi.

Semoga saja tidak ada yang menilai saya sebagai pencontek. Kalau ada saya harus tahu orangnya, jadi bisa saya jelaskan kebenarannya.

Hanya Allah yang tahu

Rabu, 22 Juni 2011

Titik api yang akan terus abadi

Kau berdiri di tengah rintihan awan yang menangis begitu dalam
Kau jatuhkan air matamu yang tidak tampak di tengah hujan
Kau nyatakan harta terpendam di hatimu padaku
Kau pompa jantungku hingga berdentum begitu cepat
Tapi hanya berdentum
Tapi hanya terdengar
Tanpa memadamkan titik api yang menyala di dadaku
Tanpa ada rasa penyesalan yang terbawa olehku
Kau mencoba padamkan titik api itu dengan air mata itu
Kau gagal
Kau sia-sia
Kau tetap akan terbakar titik api itu di benakku

Kau yang berulah pertama kali
Kau yang harus membayarnya pertama kali
Teruslah menangis
Dengan itu tidak akan ada pengaruhnya
Semakin kau menangis, titik api itu akan semakin abadi
Abadi hingga kau benar-benar hilang dari indahnya kehidupan

Senin, 20 Juni 2011

penakluk keindahan

pada awalnya kurasa
dia akan menjadi kenangan seumur hidup
dia akan menjadi mimpi yang tak akan pernah bisa
tak akan pernah bisa
tidak akan pernah menjadi apa yang kuinginkan
pada awalnya kurasa
aku akan terus mengenangnya
aku akan terus memimpikannya
dan tak akan pernah
sedikitpun tidak akan pernah terwujud
pada awalnya kurasa
dia tidak merasakan apa yang kurasakan
dia tidak akan memimpikan apa yang aku impikan
tidak akan pernah bisa
sama sekali tidak akan pernah sama

tapi
waktuku untuk mengenang telah berjalan begitu lama
dan waktuku tersandung mulai tiba
sebutir batu harapan terlihat memesona
meskipun lagi-lagi tidak pasti
meskipun lagi-lagi keraguan menguasai
semuanya benar-benar tidak pasti
membuatku ingin terjatuh berkali-kali
hingga aku benar-benar mengerti
apa kebenaran yang terjadi
cukup
aku lelah
dengan ketidak pastian ini
meskipun aku suka dengan keraguan ini
tapi aku lelah dengan keraguan yang begitu rumit
lebih baik berhenti
ya, lebih baik kuhentikan saja semuanya

lagi-lagi tapi
aku tidak ingin melepaskan 'dia'
aku tidak ingin meninggalkan 'dia'
aku tidak ingin membuang 'dia'
hanya dia yang bisa menemaniku
dengan syarat-syaratku

aku hidup dengan 'ketidakbisaan'
ketidakbisaan yang tidak mustahil
prinsip ketidakbisaan telah tertanam begitu dalam
dan itu membuatku mudah terkuasai perasaan
perasaan yang tidak boleh dirasakan

tidak
dia itu jahat
dia itu tidak terduga
dia yang telah membuatku seperti ini
dia yang telah merubah ketidakbisaan
dia
dia itu penakluk segalanya yang indah