PART 2_
"Kau dan Guruku, kalian ada hubungan apa?"
Yoona terdiam sejenak. Dia membalikkan tubuhnya ke arah sang adik dan menatapnya. Wajah Jaeri terlihat begitu serius mengajukan pertanyaan itu. Yoona tersenyum.
"Dia, dia itu mantan kekasihku."
***
Jaeri membelalakkan matanya, tidak percaya dengan pernyataan bahwa dunia tidak seluas yang ia kira. Dia mendekati kakaknya. "K-kapan?"
Dengan tetap tersenyum, Yoona mengerutkan alisnya pertanda sedikit kecewa, "Saat kami berada di universitas yang sama. Dulu dia teman yang baik, bahkan sudah kuanggap sebagai kakak sendiri, tapi aku tidak pernah menduga jika dia akan menyukaiku."
"Kemudian Kakak menerimanya?"
"iya, dan aku menyesal dengan keputusanku itu, aku mengecewakannya. Perasaanku terhadap dirinya hanya sebatas sahabat." Kemudian Yoona terdiam.
Jaeri tidak puas dengan informasi yang di dapat, ia pun kembali bertanya,"Suami Kakak?"
Sekejap Yoona menatap Jaeri, kemudian menundukkan pandangan. "Suamiku adalah penyelamat bagiku sekaligus penghancur bagi Minho. Suamiku berhasil mencuri perhatianku. Aku memang bodoh, aku tahu dia kekasihku, tapi saat itu tidak kuanggap sebagai kekasihku dan justru aku malah berpaling. Karena itu mungkin Minho tidak mau lagi bertemu denganku."
"Sejak kapan kalian tidak bertemu."
"Terakhir kali aku bertemu dengannya mungkin sudah setahun yang lalu." Yoona kembali nmembalikkan tubuhnya dan menata beberapa belanjaannya ke lemari yang berada di dapur yang tidak bersekat dengan ruang makannya. "Oh ya, memang ada apa? apa kau menyukainya?"
Tiba-tiba saja jantung jaeri tersentak, seakan-akan mendapat serangan yang mengejutkan, "K-kakak apa-apan sih, tiba-tiba menanyakan hal aneh seperti itu!?"
"Mwo-ya? kau tidak suka?" Yoona menoleh ke arah Jaeri, didapati adiknya yang sedang memejamkan mata. Melihat tingkah adiknya, Yoona sudah tahu. "Kau suka 'kan?" Ujarnya sambil tersenyum, namun tidak ada respon dari Jaeri selain matanya yang kembali terbuka. "Aku tahu kau pasti suka dengannya, dari dulu kau suka dengan pria yang jauh lebih tua darimu, iya 'kan?" lanjutnya disertai dengan tawa kecil, tapi langsung mereda. "Berjuanglah!"
Jaeri menatap kakaknya yang tersenyum manis dan kembali membereskan barang-barangnya. "Berjuang? kenapa?"
Setelah barang-barangnya sudah rapi, Yoona duduk di sebuah sofa di ruang keluarga yang juga tak bersekat dengan ruang makan. "Minho, dia pria tampan, pintar, dan mudah di ajak bicara. Tapi kau akan sangat sulit mengetahui perasaan di dalam hatinya. Tapi juga akan sangat berbeda jika dia sudah memberi tahu perasaannya padamu, dia akan terus terang dengan perasaannya di setiap keadaan. Mmm, mungkin menurutku akan sangat sulit untuk mencapai sana."
"Kenapa?"
"Dia bukan orang yang ingin terjatuh dua kali. Dia tidak akan mengulangi kesalahan yang sama. Lebih-lebih jika itu kau, adikku sendiri. Kurasa dia akan sulit menyukaimu."
Jaeri terdiam. "Tapi bukan berarti mustahil 'kan?"
"Kenapa harus mustahil kalau adikku baik, pintar, dan mau terus terang?" Yoona lagi-lagi tersenyum. "Aku akan selalu berharap padamu, Jaeri, aku ingin kau juga memperbaiki hubungan kami. Aku benar-benar tidak tahu cara meminta maaf padanya jika dia terus menghindar dariku."
Suasana sunyi datang untuk beberapa saat. Tanpa bisa menjawab apa-apa, Jaeri berjalan menuju kamarnya. "Lelah, tidur dulu ya!"
"Baiklah. Oh ya, Jaeri, besok siang suamiku akan datang! Kalau bisa besok lekas pulang ya!"
Jaeri menutup pintu kamarnya dan berteriak 'iya' di dalam. Wanita itu membaringkan tubuhnya di atas kasur dan melamun. Yang terbayang pertama kali adalah wajah Minho, kemudian Yoona.
Kau itu kenapa? Kenapa begitu pengecut? Harusnya kau tidak menghindar dari kakakku, itu bukannya menimbulkan rasa sakit yang terus menerus ada? Kau pintar, tapi tidak cukup pintar dalam hal ini, tapi setidaknya kau lebih dewasa dalam menghadapinya. Tapi di sisi lain, tidak semuanya adalah kesalahanmu, kakakku juga salah. Kau dan dia? Aah, kenapa aku jadi kesal? Kak, kenapa kau kejam sekali padanya? Dia mencintaimu, tapi kau meremehkannya?
Jaeri berdecak dan menggeram sendiri, kemudian terdiam sesaat. "Andai aku jadi kakak, aku akan menerima dan menjaganya," ujarnya dengan bibir mengerucut.
***
Minho berbaring di atas kasurnya malam ini. Pikirannya melayang menjadi partikel-partikel yang tersusun di atas langit-langit. Partikel-partikel itu tersusun menjadi sebuah wajah yang dulu pernah ia cintai, seorang wanita.
Wanita itu tertawa, wanita itu tersenyum, wanita itu menangis. Ada saat dimana seorang pria datang dan mendekati wanita itu, awal dari kehancurannya. Ketika ibunya yang terjatuh sakit, tak dapat di tolong, dan akhirnya meninggal, justru wanita itu menikah dengan pria yang pasti bukan dirinya itu. Itu tidak lagi terasa sakit baginya, hanya ada rasa benci, benci, dan benci, juga penyesalan. Ketika wanita itu sedang bergembira, Minho tak bisa terbawa olehnya, wanita itu terlalu bahagia, hingga tak memperdulikannya. Dia hanya bisa meringis dengan rasa sakit yang bertubi-tubi. Adakah yang mengetahuinya? Hanya dia.
“Pensil saya hilang, Pak!”
“Di mana kamu menghilangkannya? Itu alasanmu saja kali!”
“Tadi di sini! Itu pensil saya satu-satunya, Pak!”
Tiba-tiba Minho bangkit dari tidurnya. Apa tadi? Batinnya.
“Pak, saya tidak bawa PR, PR saya kena hujan dan semuanya robek!”
"Pak! Tas saya tertukar oleh anak kelas satu, Pak!"
"Spatu saya hilang, Pak!"
“Saya mendengarkan Bapak, kok!”
Jaeri? Kenapa aku memikirkannya?
“Saya kira saya akan sanggup mengangkatnya kalau hanya segini.”
“Aaah.. Apa kek, Bapak bisa melakukan apa saja terhadap saya!”
Minho tertawa kecil. Ia terdiam sejenak, kemudian tertawa kecil kembali.
“Anak yang lucu.”
Seketika pikiran wanita yang dulu di cintainya—Yoona—hilang dari bayangannya.
***
"Pak, usai kerja para guru akan makan-makan, tentu saja saya yang traktir, Bapak ikut tidak?" Seorang Pria berseragam olah raga berbicara pada Minho.
"Tidak perlu repot-repot, Pak, lagi pula saya ada janji," Ujar Minho sopan disertai dengan senyum tipis.
"Oh, kalau begitu saya duluan ya, Pak!" Pria itu melambaikan tangannya berpamitan. Setelah beberapa menit, dia bersama beberapa temannya mulai pergi dan mulai mengosongkan ruang guru.
Minho tersenyum kepada orang-orang yang menggodanya untuk ikut pergi bersama mereka dan hanya duduk di kursinya. Layar monitor di meja menyala. Minho membuka file yang sebelumnya dia minimize. Muncul sebuah dokumen gambar seorang wanita dengan rambut panjang ikalnya yang sedang tersenyum manis. Melihat gambar itu Minho dibawa untuk tersenyum namun cepat dia hapus dari wajahnya.
Dia menghela napas. “Ya, andai saja kau tidak menikah saat itu, aku masih mau berbaikan denganmu,” gumam Minho berbicara pada layar itu. Tiba-tiba saja ia teringat wajah Jaeri. Apakah dia masih menunggu? Gumamnya dalam hati.
Minho langsung bangkit dari duduknya dan menuju ruang matematika. Ketika sampai, didapati ruangan begitu rapih dan tidak ada orang sama sekali. Minho berpikir sebentar, kemudian kembali mencari. Beberasa saat kemudian dua wanita berseragam berpapasan dengannya. “Permisi, apa kalian kenal dengan murid bernama Kwon Jaeri?”
Wanita dengan rambut terkuncir berbicara, “Kenal, ada apa, Pak?”
“Apa kalian tahu dimana dia?”
“Oh, dia sudah pulang dari tadi bersama teman-temannya! Kira-kira tiga atau empat jam yang lalu.” wanita itu menoleh ke arah temannya dan disambut anggukkan dari temannya.
“Oh, Kamsahamnida.” Pria itu sedikit merunduk memberi hormat dan kedua wanita itu melakukan tidak jauh dari yang dilakukannya.
Pulang duluan? Apa dia tidak apa-apa?
Dengan segera dia kembali ke ruang guru dan membawa tasnya kemudian keluar menuju parkiran motor. Namun tiba-tiba langkahnya terhenti. Dia baru teringat kalau hari ini dia tidak berangkat dengan motornya. Dengan berlari, akhirnya Minho menuju halte bus dan pergi menuju rumah Jaeri.
Sesampainya di sebuah pertigaan jalan menuju rumah Jaeri, Minho melihat seorang wanita dengan gaun bercorak bunga selututnya. Minho mendekati wanita itu, “Ya! Wanita lesbian! Kau lihat Jaeri tidak!” ucapnya sedikit teriak.
“Hey, aku punya nama ya! Lagian mau apa tanya-tanya soal Jaeri, guru kok perhatian sekali.”
“Saya perhatian karena kamu menakutinya! Sudah jawab saja, lihat apa tidak?”
“Aishh.. siapa yang menakutinya? Dasar.. Aku lihat dia pulang bersama temannya beberapa jam yang lalu, dan mereka cantik-cantik. Tapi bereka malah—“ ucap wanita itu masih berlanjut dengan wajah berubah-ubah, dari marah, tersenyum, kemudian cemberut. Tanpa memperdulikan perkataan wanita itu lebih lanjut, Minho pergi menuju rumah Jaeri.
Beberapa menit setelah berjalan, Minho sampai di depan pintu rumanya. Tapi sebelum ia sempat mengetuk pintunya, wajah Yoona tiba-tiba terbayang di pikirannya. Tangannya yang awalnya bersentuhan dengan pintu, kini ia turunkan. Sesekali berdehem untuk mengumpulkan beberapa keberaniannya. Dan akhirnya ia mengetuk pintu.
“Sebentar,” ucap seorang wanita yang Minho simpulkan bahwa itu suara Yoona. Sesuai dugaannya, muncul Yoona dari seberang pintu. “Ah, Minho-yah? Ada apa?”
“Saya mencari Jaeri, apa dia ada?”
Yoona menatap wajah Minho yang terlihat dingin, kemudian dia tersenyum, “Kau masih seperti dulu ya.”
Minho mengangkat alisnya, “Apa?”
“Lihat wajahmu, menyembunyikan perasaanmu dengan sangat baik. Meskipun aku tahu kau menyembunyikannya, tetap saja aku tidak tahu apa perasaanmu sekarang, kau tidak akan memberitahuku, iya ‘kan?” Yoona tersenyum tulus, dia tahu pertanyaannya tidak akan di jawab Minho, dia pun membuka pintunya lebih lebar lagi sehingga terlihat Jaeri dan seorang pria berada di dapur yang langsung terlihat dari sudut Minho berdiri. “Jaeri-ah! Gurumu mencarimu!”
Jaeri menoleh ke arah luar. “Bapak?!” Mata Jaeri membulat. Dengan matanya yang masih seperti itu, ia berjalan cepat ke depan pintu. Ketika itu Yoona kembali ke dapur dan membantu suaminya untuk memasak.
“Bapak mau apa kesini?” bisik Jaeri ke pria yang berdiri di depannya.
Minho tak menjawab, dia hanya terpaku pada pemandangan wanita dan pria di belakang Jaeri.
“Bapak?” untuk kedua kalinya Minho tak menjawab. Dengan cepat Jaeri menyadari apa yang dilihat pria itu. Jaeri pun menoleh ke belakang. “Kak! Aku tinggal sebentar ya! Aku ada urusan dengan guruku!” teriak Jaeri.
Ketika itu, makanan yang Yoona dan suaminya buat telah selesai. “Yasudah, nanti pulang jangan lupa makan ya! Setelah makan aku dan suamiku langsung pergi!” Ujar Yoona ikut berteriak.
Jaeri mendorong tubuh Minho yang masih terpaku keluar dari ambang pintu. “Iya, Kak!” Kemudian menutup pintu rapat-rapat. Jaeri melepaskan dirinya dari mendorong pria yang jauh lebih besar darinya itu. Jaeri terengah-engah. “Pak, sadar, Pak!”
“Tadi itu.. mereka?” gumam Minho dengan tatapan yang masih lurus ke depan.
Jaeri menghela napas. “Sudahlah, Pak, masa lalu tidak perlu di ingat lagi. Memang sakit sih..” Ujar Jaeri santai. Karenanya, Minho menatap wanita itu dengan tatapan yang seperti baru saja mendengar peramal berbicara. Jaeri mengerti dengan tatapan itu. “Iya, saya tahu dari kakak saya. Dulu bapak kekasihnya ‘kan?”
“Kau tahu dari mulutnya langsung?”
“Dari telinganya, Pak! Tentu saja dari mulutnya.. Sudahlah, lama-lama saya kesal dengan ekspresi Bapak yang sekarang, tidak terlihat tegar!” Jaeri menepuk-nepuk lengan pria itu dan mengatakan kata ‘sadar’ berulang kali.
Minho tertawa dengan cara Jaeri menyadarkannya. “Baiklah-baiklah. Saya sudah sadar. Tapi ngomong-ngomong, kenapa kita ada di luar?”
“Memangnya Bapak mau masuk ke dalam??”
Minho terdiam, kemudian tertawa kecil. “Yasudah saya pulang, kamu masuk saja!”
“Tidak mau! Tunggu sampai mereka pulang saja.”
“Loh? Kenapa?”
“Apa enaknya berada di tengah-tengah sepasang suami istri? Yang ada iri.”
Lagi-lagi Minho tertawa. “Kau harus belajar yang rajin dulu baru boleh menikah.”
Melihat tawanya, Jaeri hanya dapat tersenyum. Aku ingin terus membuatnya tersenyum, batin Jaeri. “Pak, jalan-jalan sebentar, yuk!”
“Jalan-jalan? Dari pada membuang waktu harusnya kamu belajar!”
“Aaah, belajar terus.. sekali-sekali refreshing, Pak!”
Minho tersenyum. “Baiklah.”
Beberapa menit setelah mereka berjalan, mereka sampai di sebuah taman di pinggir kota. Letaknya tidak jauh dari rumah Jaeri. Karena lelah, mereka berdua duduk di sebuah bangku taman.
“Hari ini lumayan panas ya, Pak!” Tidak ada jawaban dari Minho, dan itu mengundang Jaeri untuk menoleh ke arahnya. Didapati Minho sedang mengusap dahinya yang berkeringat. Jaeri tersenyum. “Saya tidak pernah melihat Bapak berkeringat sebanyak itu.”
Minho sedikit terkejut dengan perkataan Jaeri, “Benarkah? Sebanyak itukah keringat saya?”
Jaeri tertawa. “Tidak, tapi Bapak jarang berkeringat.” Tiba-tiba Jaeri berdiri. “Eh, di sana ada yang jual es krim, Bapak mau?”
Minho tersenyum kemudian mengangguk pelan. “Boleh.”
Jaeri berjalan menuju sebuah kios yang letaknya tidak jauh dari tempat mereka duduk. Beberapa saat kemudian Jaeri telah kembali dengan dua corn eskrim di tanganya yang mulai mencair. Dengan buru-buru Jaeri mendekatkan salah satu eskrim ke depan Minho.
“Kamsahamnida.”
“Hati-hati, Pak, nanti kena jas Bapak!”
Baru saja diperingati, lelehan eskrimnya mengenai jas Minho yang berwarna hitam. “–Ah, bagaimana ini?”
Jaeri merogoh sapu tangan di saku celananya. “Ini, Pak!” Jaeri memberikan sapu tangannya.
Ketika Minho mengambilnya dan mencoba membersihkan noda di jasnya, eskrim yang ada di genggamannya menetes lagi.
“Sini saya bantu, Pak! Bapak habiskan dulu eskrimnya!”
Minho hanya menuruti kata-kata Jaeri. Sementara Minho menghabiskan eskrim, Jaeri mengusap-usapkan sapu tangannya di jas dan celana pria itu. Ketika itu, wajah Jaeri begitu serius, membuat senyuman Minho tersungging di bibirnya.
CKREK
Seorang pria dengan kameranya berdiri tidak jauh dari tempat Jaeri dan Minho duduk. Cahaya kameranya terlihat jelas oleh Minho, dan itu memunculkan firasat buruk di dalam diri Minho.
“Ya! Kau sedang apa?”
Wajah pria itu yang awalnya tertutup oleh kameranya sendiri mulai terlihat ketika ia telah menurunkannya. Pria itu tersenyum. “Aku hanya sedang memotret sepasang kekasih,” ucapnya sedikit berteriak karena kebisingan di sekitarnya.
Jaeri terkejut sekaligus senang mendengar kalimat yang ia anggap sebagai pujian itu. Tapi beda halnya dengan Minho, dia mendekati pria itu dan mengajaknya bicara. Jaeri hanya melihat dari kejauhan. Minho sempat merebut kamera pria itu kemudian mengembalikannya dan kembali berbicara.
“Yasudah sih, biarkan saja fotonya, apa salahnya dia punya foto kita?” Jaeri menggerutu sendiri. Beberapa saat kemudian Minho kembali. “Pak! Biarkan saja dia memotret sesuka hatinya, bapak tidak boleh mencampuri urusannya!”
Minho kembali duduk di sisi kanan Jaeri. “Tidak bisa begitu, kalau memang kita dijadikan sebagai objek, ada kewajiban untuknya meminta izin pada kita, kita pun punya hak untuk menolaknya, kecuali kalau bukan kita objek pusatnya.”
Jaeri terdiam sesaat, menurutnya kata-kata Minho dapat masuk di akal. “Aah, tapi Bapak segitu tidak sukanya sampai menghapus foto itu dari kameranya.”
Minho tertawa. “Sudahlah, lihat eskrimmu, mulai mencair juga tuh!”
“Ah, iya! Pak, bantu saya!”
Minho kembali tertawa, dia merebut sapu tangan dari genggaman Jaeri dan mulai mengusap lelehan eskrim yang ada di celana Jaeri, sementara Jaeri menghabiskan eskrimnya.
Dari kejauhan pria berkamera tadi kembali memotret mereka, kali ini tidak diketahui oleh keduanya. Pria itu tersenyum.
***
“Akhirnya malah pake air juga,” ucap Jaeri ketika mulai berjalan pulang.
Minho tertawa kecil. “Iya, lain kali tidak perlu memberi eskrim lah! Cukup merepotkan.”
“Benar juga.”
Jaeri dan Minho tiba di depan rumah Jaeri, dan mereka pun berpisah disana. Jaeri masuk ke dalam rumahnya, sedangkan Minho kembali pada perjalanannya ke rumah. Tapi tidak langsung pulang. Minho kembali menuju taman tempat tadi dia dan Jaeri duduk. Tidak lama kemudian pria dengan kameranya datang menghampiri.
“Apa kau sudah mencetaknya?”
“Tentu saja, ada dua, kau ambil yang mana?”
“... dua-duanya saja.”
“Ini.”
Minho menatap kedua foto itu, kemudian tersenyum.
-To Be Continued-