Chast : Kwon Jaeri, Lee Minho
Genre : Romance
***
Tidak boleh kami terpedaya oleh senjatanya
Dia bukanlah saingan kami yang sepantasnya
Kendatipun dia hanya pelatih tanpa kemampuan bertarung
Tanpa kemampuan bertarung dengan kami
Para muridnya sendiri
Cambuknya mengantarkan kami untuk kuat T
eriakannya mengantarkan kami untuk bersemangat
Kasih sayangnya mengantarkan kami untuk lebih baik darinya
Tapi adalah salah jika itu mengantarkan kami untuk mencintainya
Seharusnya, atau, biasanya..
“Untuk ulangan besok, silahkan kalian buka halaman 162.” Ujar seorang guru yang berdiri di depan sebuah kelas. Seluruh murid yang ada di kelas itu menuruti perintahnya.
Seorang pria yang kubenci sekaligus kupuja. Pria dengan kacamata yang menggantung di hidungnya, terkadang kacamata itu ia lepas dan membiarkan matanya telanjang.
Wajahnya yang santai, terkadang tanpa ekspresi namun tegas membuatnya terlihat bagai pria yang memiliki segudang ilmu.
“Bagian A tolong kalian kerjakan sekarang dan bagian B kalian kerjakan di rumah,” suruh guru itu kembali. Semua murid menyanggupinya kecuali seorang murid perempuan yang duduk di pojok belakang yang sedang menatap ke depan.
Pria bertubuh ramping dan jangkung mengenakan kemeja putih yang membuatnya terlihat begitu dewasa dengan umurnya yang muda dari kebanyakan pria seperti dirinya.
Sang guru mendekati murid perempuan itu dengan wajah yang seakan-akan berkata lagi-lagi-dia. “Jaeri-ah!” serunya dengan suara yang sedikit keras dan kasar.
“Ada apa?”
“Ada apa?” Sang guru mengerutkan dahinya, “kamu tidak suka pelajaran saya ya? Dari kemarin kamu tidak mengerjakan apa yang saya suruh! Sebenarnya apa yang kau lihat sejak tadi?”
“Saya memperhatikan penjelasan Bapak, kok! Bapak aja yang nggak sadar!” ucap murid itu sedikit keras. “Saya tidak memperhatikan, salah, saya sudah memperhatikan, salah juga. Bapak selalu memarahi saya!”
“Bukan begitu, kamu tidak mengerjakan apa yang saya suruh. Kemarin saya suruh mengerjakan soal, yang lain mengerjakan, kamu tidak. Kamu suka ya saya hukum?”
“Saya tidak de—“
“Tidak dengar karena kamu duduk di paling belakang? Alasan itu sudah sering kamu gunakan. Sudahlah, Kamu saya hukum, sepulang nanti kamu tidak boleh pulang dulu!”
“Tapi pak!”
“Sudah diam! Saya tidak ingin mendengar suaramu mengganggu saya dan teman-teman yang lain!” Guru itu membalikkan tubuhnya dan kembali ke meja guru.
Wanita itu menggerutu sebal. Tapi di balik gerutunya sebuah senyuman tersembunyi dan semakin lama semakin terlihat. “Memang itu yang aku inginkan.”
Pria muda yang lebih tua dariku itu bernama Minho. Guru matematikaku.
***
“Ya.. Jaeri-ah! Kamu tidak bosan di hukum terus? kita jadi tidak enak selalu ninggalin kamu sendiri,” guman seorang wanita, “kita sudah lama tidak pulang bareng.”“Bosanlah.. yang kutemui guru itu lagi-guru itu lagi.. maaf ya aku juga jadi tidak enak.”
“Yaudahlah.. kita pulang duluan ya, Anyeong!”
Jaeri hanya melambaikan tangannya dan melempar senyum ke arah mereka. Setelah dua temannya sudah tidak terlihat dari pandangannya, Jaeri berlari kecil ke ruang matematika dan mendapati seorang pria berkemeja putih telah menunggu.
Pria itu bersandar pada meja dengan tangan dilipat di depan dada, “sudah selesai pamitannya?”
Jaeri mengerutkan wajahnya “Kenapa sih pak? saya kan tidak enak dengan teman-teman saya.”
Pria itu menghela napas dan berdiri dari sandarannya, “yasudah, bantu saya mengoreksi nilai.”
“Baik, pak!” ucap Jaeri penuh semangat dan itu membuat pria berumur 25 di depannya mengerutkan dahi.
“Kamu itu kenapa sih? Saya hukum kok senang?”
Wanita berambut pendek itu tertawa pelan. “Ani.. aku kan jadi bisa melihat nilaiku dan nilai teman-temanku duluan,” Ujar Jaeri riang tanpa ada tanda-tanda kebohongannya. Atau mungkin bisa melihat guru dari dekat.
Minho mengangkat kedua alisnya dan tertawa kecil, “terserah kamulah.”
Selama setengah jam hukuman mengoreksi nilai telah usai. Pria dengan kacamata itu menutup pulpennya. “Akhirnya selesai. Jaeri-ah! Tolong kau angkat semua buku-buku ini ke dalam lemari!” suruhnya sambil menunjuk lemari dengan pulpen di tangannya.
“Oh, oke.” Dengan tangannya yang kurus, Jaeri menopang tumpukan buku dan membawanya ke lemari. Tapi sebelum sampai di depan lemari, buku-buku itu jatuh berserakan ke lantai.
Suara gemuruhnya mengagetkan Minho, ia langsung menghampiri Jaeri.
“Aigoo.. kamu ini bagaimana sih? Harusnya jangan langsung semuanya di bawa.”
“Ma-maaf pak, saya kira saya akan sanggup mengangkatnya kalau hanya segini,” gumam jaeri sembari memungut beberapa buku di bawahnya.
Minho menghela napas. “Kau ini ada-ada saja.” Pria itu mulai merendahkan tubuhnya dan berusaha ikut memungut sebagian buku yang ada depan jaeri.
Melihat pria itu mulai mendekat, wajah Jaeri memucat dan memerah secara bersamaan.
Tuhan.. wajahnya dekat sekali.
Jaeri tidak melanjutkan tangannya untuk memungut buku-buku itu, dia terpaku dengan pemandangan di depannya. Matanya pun tidak berkedip.
Lagu apa ini? seperti ada lagu klasik yang terdengar di pikiranku. Dia terlalu tampan untuk menjadi guru, bukan, dia seperti pangeran di mataku.
“Ya!” ucap pria itu menyadarkan lamunan Jaeri, “Kenapa kamu bengong saja? Bantu saya!” perintah guru itu sedikit sebal. “Kamu yang menjatuhkannya kok justru saya yang pungut.”
Jaeri menggelengkan kepalanya pelan menyadarkannya kepada kehidupan nyata. “Ma-maaf, pak. Saya teringat sesuatu.” Jaeri kembali memungut buku, tapi semuanya telah dibawa Minho masuk ke dalam lemari.
“Sini bukunya!” Ujar pria itu memberi tangannya.
Dengan gugup Jaeri memberikan 3 buku yang ada di genggamannya kepada Minho. “Maaf pak, mungkin ada yang bisa saya lakukan lagi?”
Setelah menaruh buku-buku di lemari dengan rapi, Minho membalikkan tubuhnya dan menatap ke arah jaeri yang masih duduk di bawah. Dia kembali menghela napas, “ sudah, kamu sudah boleh pulang.”
“Loh? Tumben jam segini sudah boleh pulang?”
“Memangnya kamu tidak mau?” Minho berdecak.
Kalau aku pulang nanti aku bertemu orang menyebalkan itu.
“mungkin saya bisa bantuin beresin kelas.”
“tidak usah.”
Aku lebih suka berlama-lama di sini dari pada bertemu orang itu. Tentu saja.
“Atau saya bisa mengepel kamar mandi!”
“Kamu tidak perlu melakukan itu.”
“Saya buatin minum, pak!”
“Saya tidak haus, sudah kamu pulang saja saya tidak marah kok.”
“aah.. apaan kek, Bapak bisa melakukan apa saja terhadap saya!”
Tiba-tiba suasana sunyi. Jaeri menutup mulutnya dengan tangan. Aduh, bicara apa barusan?
Pria tampan itu merendahkan tubuhnya, “Apa?”
Tanpa bisa menjawab, Jaeri hanya bisa terdiam dan memejamkan mata. Apa yang harus aku lakukan? Aku harus lari atau bagaimana? Melihat wajahnya saja aku tak sanggup.. aku terlalu malu. Apa aku harus menjelaskannya kalau tadi hanya caraku untuk menghindar dari orang gila itu? Ucap Jaeri dalam hati.
Setelah menemukan apa yang akan dia lakukan, dia kembali membuka matanya. Tiba-tiba Minho sudah ada di depan wajah Jaeri, itu membuatnya terkejut dan mundur. “b-ba-bapak?!”
“Apa? Apa yang kau katakan tadi?” pria itu menatap Jaeri dalam. “Melakukan apa saja?” pria itu tersenyum dan kembali mendekat lebih dekat dari sebelumnya.
Jaeri ketakutan. Dia tidak pernah menyangka guru matematikanya akan berbuat sesuatu yang tidak pernah ia bayangkan. Jaeri tidak bisa berbicara, tiba-tiba bibirnya kelu. Dia hanya bisa memejamkan mata dan menutup wajahnya dengan kedua lengannya. Aku anak baik-baik, aku anak baik-baik, aku tidak ingin ini terjadi!
Tiba-tiba terdengar sehela napas. “Aku minta kau pulang sekarang.”
Jaeri tiba-tiba merasa tidak terancam. Dia membuka mata dan lengannya. Didapati tidak ada orang di depannya, guru itu sudah berjalan ke arah meja di depan kelas.
“Lain kali kalau bicara dipikirkan dulu. Akan sangat berbahaya seorang wanita mengatakan hal seperti itu.” Minho telah sampai di depan mejanya kemudian duduk di kursi dekat meja itu.
“Sudah sana pulang! Ini sudah ke sekian kalinya saya minta kamu pulang.”
Tanpa mengatakan apa-apa, Jaeri berdiri dan mengambil tasnya. Dia membungkuk berpamitan kepada pria itu sebelum akhirnya keluar dari pintu.
Minho menatap wanita dengan rok hampir selutut itu berjalan keluar dengan tergesa-gesa. Dia tersenyum, kemudian tertawa kecil. “Anak yang aneh.”
Setelah wanita itu tidak terlihat lagi, Minho kembali pada pekerjaannya. Tapi tidak lama setelah itu terdengar suara langkah mendekati kelas. Dari ujung mata Minho terlihat bayangan seorang wanita berambut terkuncir dengan seragam SMAnya. Minho menoleh ke arah wanita itu. “Loh, kenapa balik lagi?”
Jaeri menggigit bibir bawahnya. Kemudian kedua tangannya terangkat dengan jemari yang saling terikat. “Kalau bapak tidak keberatan, bolehkah saya pulang bersama bapak? Saya mohon!” ucapnya hampir meringis.
Minho mengernyitkan dahinya. “Memangnya kenapa?”
Mendengar gurunya seakan memberi kesempatan, Jaeri menurunkan tangannya, “saya takut, di dekat rumah saya ada wanita yang mencoba untuk menggoda saya.”
Kembali Minho dibuat terkejut, mulutnya menganga. “Apa? Yeoja?”
Jaeri yang sudah menduga tanggapannya mengangguk pelan. “Kalau bapak keberatan, biarkan saya menunggu di sini.” Wanita itu menunduk malu, mengingat apa yang baru saja dilakukan gurunya.
Minho terdiam sejenak. “Arraso.. saya masih ada pekerjaan, jadi kamu duduk di sana saja dan tunggu saya sampai selesai, oke?” Tanpa menjawabnya, wanita itu duduk dengan senyum tersungging di bibirnya. Minho ikut tersenyum melihat tingkahnya.
Beberapa jam berlalu setelah Minho berkali-kali keluar masuk ruangan dan berkali-kali Jaeri mengeluh bosan, akhirnya pekerjaan Minho terselesaikan.
“Akhirnya selesai juga,” ucap Minho lega. “Ayo pulang!”
“Sekarang jam berapa, pak?”
Minho menatap jam tangan yang melingkar di tangan kirinya. “lima lebih sepuluh menit, kenapa?”
Wanita berparas cantik itu bangun dari duduknya dan mengenakan tas yang sejak tadi ada di pangkuannya. “Saya rasa wanita lesbian itu sudah tidak ada di tempatnya, saya pulang sendiri aja, pak!”
“Jongmalyo?” Minho mengangkat alisnya.
“Mungkin.”
Minho menatap wajah wanita berumur 18 tahun itu, nampak ragu-ragu. Minho menghela napas, ia membelakangi wania itu dan mulai membereskan mejanya dan menaruh beberapa buku kedalam tas. “Untuk berjaga-jaga, kamu saya an—“ ketika pria itu membalikkan tubuhnya, Jaeri sudah keluar dari ruangan itu. “Anak itu benar-benar.. merepotkan.” Pria itu menjinjing tasnya kemudian keluar dari ruangan.
***
“Akhirnya aku bisa melihatmu, kau kemana saja akhir-akhir?”“Eh? Emm..” Jaeri kehabisan kata-kata, dia menyesal dengan keputusannya menolak tawaran Minho.
Wanita dengan gaun bercorak bunga selutut itu menghampiri Jaeri hingga Jaeri mundur dan tertahan oleh sebuah tembok. Wanita itu mengepung Jaeri dengan tangannya, bibirnya mendekati telinga Jaeri. “Kita sudah lama tidak bertemu, harusnya kau menyapaku, ng?” ucapnya dengan suara hampir seperti bisikan.
“Apa yang akan kau lakukan, hah! A-aku akan menelpon polisi!” dengan gemetar, Jaeri merogoh ponsel di saku bajunya. Dengan pengontrolan tangan yang payah akibat ketakutan, ponsel Jaeri terjatuh dari genggamannya.
Wanita itu tertawa, “lucunya.. kamu hanya ingin menakutiku kan?” wanita itu mengelus pipi Jaeri pelan. Lagi-lagi wanita itu tertawa. “kamu benar-benar lucu.” Ia mendekatkan dirinya ke hadapan Jaeri dan mencoba untuk menciumnya. Jaeri yang ketakutan mencoba mendorong wanita itu ke belakang dengan sekuat tenaga.
“Ya! Hajima!”
Seorang pria berkemeja putih dengan tas yang menggantung di bahunya berdiri di ujung gang kecil tempat wanita itu membawa Jaeri. Pria itu mengatur napasnya yang ia pakai untuk berlari.
“P-pak guru?” Dengan cepat Jaeri terlepas dari pelukan wanita itu dan bersembunyi di balik punggung Minho.
“Sudah kuduga akan seperti ini,” bisik Minho ke balik punggungnya.
“Ya! Siapa kau? Mengganggu orang saja!” teriak wanita itu sambil mendekat.
“Kamu yang mengganggu dia, pulanglah! Kamu harusnya belajar untuk menjadi pintar bukan belajar untuk pintar menggaggu orang!”
“Tidak usah sok mengajariku deh! Memang kau siapanya dia, hah? Kekasihnya?”
Deg.. Apa yang akan dijawabnya?
“Bukan, aku gurunya,” gumam Minho dengan nada yang masih dapat dikendalikan.
Ah, sudah kuduga.
“Aku akan menelepon petugas keamanan untuk mengusirmu,” lanjut Minho dengan ponsel yang sudah berada di genggamannya kemudian menelepon ke bagian keamanan.
Tiba-tiba tangan Jaeri dicengkeram dan ditarik wanita itu, jaeri menahannya. “Ayo Jaeri, kita kabur bersama-sama, aku tidak mau kehilangan kamu lagi!” ujar wanita itu semaunya.
Karena tarikan wanita itu sangat kuat, jaeri sempat goyah dan tertarik, tapi di sisi lain Minho menarik lengan Jaeri dan membantu Jaeri untuk terlepas dari wanita itu. Di kejauhan, terlihat dua pria mengenakan baju seragam polisi jalanan mendekati lokasi mereka. Karena pemandangan itu, tarikan wanita lesbian semakin kuat, dan itu membuat Jaeri kesakitan.
Melihat ekspresi kesakitan Jaeri, Minho mencoba memeluknya dan menggamit tangan Jaeri yang ditaring wanita itu kemudian memutar tubuhnya hingga terlepas dari cengkraman lesbian itu.
“Ah, sial,” gerutu wanita itu dan mulai berlari menghindar dari kedua petugas yang sudah hampir mendekatinya.
Melihat ketiga orang itu sudah pergi menjauh, Jaeri menghela napas lega. “Akhirnya..”
Tak berapa lama kemudian, Jaeri baru menyadari posisi dirinya yang ada dalam pelukan Minho. Dengan pelan, Jaeri melepaskan diri dari pelukan itu, wajahnya memerah. Dan Minho yang juga baru tersadar, mulai membuka lengannya agar Jaeri dapat keluar, tapi wajahnya terlihat biasa walaupun sedikit kelihatan lega karena kejadian itu telah berakhir.
“Mulai besok, kau pulang dengan saya.”
Jaeri sedikit terkejut. “y-ye? Tidak usah repot-repot, Pak, lagian itu sudah biasa, saya bisa kok menghindar dari wanita itu sendiri.”
“Kau bilang yang seperti tadi itu ‘bisa’?” Mata pria berdarah korea asli itu menyeringai ke arah Jaeri. Jaeri hanya menunduk malu. “Karena saya guru kamu, saya merasa bertanggung jawab atas keselamatanmu, saya takut nanti terjadi apa-apa.”
Kenapa harus dikaitkan dengan hubungan sebagai guru dan murid sih? Bilang saja kalau mau menyelamatkanku dari wanita itu!
“Baiklah.”
Minho terdiam sebentar, tidak tahu apa yang sekarang harus dia lakukan. “oke, sekarang di mana rumahmu?”
Jaeri melihat ekspresi pria itu, terlihat berbeda dari biasanya yang masih bisa bersikap tenang, kini sedikit mengerutkan alis seperti orang khawatir. Lucu juga, batin Jaeri. Wanita dengan ransel merahnya itu mulai berjalan menuju halte di depanya. Sebuah bus berhenti di depan halte itu. “Ayo Pak, busnya sudah me—“ ujar Jaeri sambil menoleh ke belakang.
Tapi pria jangkung itu telah mengenakan helm hitamnya dan menaiki sebuah motor sport hitam. “Naiklah!”
Jaeri membelalakkan matanya, “B-bapak naik itu?”
“ne.. waeyo?”
Jaeri mendekati motor itu dengan wajah yang masih terlihat terkejut. “Aku tidak pernah melihat seorang guru mengendarai motor sekeren ini! Selera bapak sangat hebat.”
Minho tersenyum. “walaupun saya seorang guru, saya masih muda!” ucapnya sambil tertawa kecil. “yasudah, cepat naik!”
Dengan semangat , wanita itu naik ke belakang Minho.
“Ah ya, saya cuma punya satu helm, jadi kamu harus pegangan yang kuat ya!”
“P-pegangan? Pegangan di mana?” pundak? Atau pinggang?
“Pegangan di gagang belakang!”
“o-oh..”
Beberapa menit mereka dalam perjalanan, tibalah mereka di sebuah rumah sederhana dengan taman kecil di bagian halamannya. Jaeri turun dari tumpangannya.
Minho melepas helmnya. “Jadi, ini rumahmu?” ujar Minho turun dari motornya dan hanya dijawab Jaeri dengan anggukkan. “Apa kau tinggal dengan orang tuamu?”
Manik mata Jaeri menerawang ke atas. “mm, bisa dibilang begitu sih, tapi ayah saya lebih sering keluar kota, jadi saya lebih sering sendirian.”
“Kamu anak tunggal?”
“Saya punya kakak perempuan satu, tapi dia juga sudah jarang datang sejak pernikahannya tahun lalu.”
Minho mengangguk pelan mengerti. “Baiklah, saya pulang dulu ya!” pamitnya sambil membalikkan tubuhnya.
“Tunggu, Pak!” Sergah Jaeri membuat Pria di depannya menoleh. “Kalau bapak hari ini tidak sibuk dan tidak keberatan, tolong ajari saya pelajaran fisika ya, pak! Besok saya ada ujian.” Ucapnya sambil tersenyum memohon.
***
“Sekarang sudah jelas?”“Sangat jelas! Waw, ternyata seru juga kalau sudah mengerti,” ujar jaeri riang.
Minho tersenyum.”Sebenarnya kamu itu tipe orang yang mudah mengerti, tapi kenapa nilai matematikamu selalu di bawah rata-rata? Apakah ada hubungannya dengan wanita tadi?”
Mendengar pertanyaan itu, senyum Jaeri berubah menjadi pahit. “Begitulah. Karena saya berusaha untuk menghindarinya, setiap pelajaran terakhir—“
“Jadi bukan pelajaran saya saja?”
“iya, setiap pelajaran terakhir saya selalu membuat kesalahan agar dihukum, itu juga kalau sedang beruntung dihukum saat pulang, makanya saya suka bapak yang menghukum saya karena bapak selalu menghukum saya sepulang sekolah.”
“Jadi selama ini kamu sengaja meremehkan pelajaran saya karena itu?”
Jaeri tertawa kecil, “sebenarnya saya juga sedikit malas dengan pelajaran bapak.”
“Aigoo, sudah saya duga.” Minho menjitak kepala Jaeri.
“Aw! Sakit!ah—Aiishh... tuhkan pak jadi tumpah!” Ketika Jaeri ingin mengusap kepalanya, gelas berisi jus jeruk yang hampir mengenai bibir meja tersenggol oleh tangan Jaeri dan tumpah di atas lantai dan seragamnya. “Semua jadi berantakan nih gara-gara bapak,” canda Jaeri.
Minho tertawa. “Maaf ya, ... makanya belajar yang rajin!”
“Apa hubungannya?!”
Jaeri mengganti bajunya dan membawa kain pel dari lemari pembersih. Jaeri membersihkan tumpahan dengan mulut yang masih mengoceh dan mengeluh dengan apa yang diperbuat Minho. Mendengarnya, Minho hanya tertawa.
“Jaeri, kakak pulang! Ah, ada tamu ya?” terdengar suara wanita dari halaman depan.
“Kakak?” Dengan semangat Jaeri berlari kecil ke arah pintu depan dan membukanya.
Seorang wanita dengan rambut hitam lurus sepunggungnya masuk sambil tersenyum. "Jaeri-ah! Sudah lama kita tidak bertemu, tubuhmu makin kurus!" Ucap wanita itu kemudian tertawa.
"Ya! kakak kali yang semakin gemuk!" Jaeri menepuk lengan kakaknya. Sejenak Jaeri melirik ke arah Minho kemudian kembali menatap kakaknya. "Oh ya, kak, Kenalkan ini guru matematikaku, Lee Minho."
Wanita itu menoleh ke arah ruang keluarga, dia melihat seseorang duduk dengan wajah yang sedikit terkejut namun dapat dikendalikan. Wanita itu mendekati Minho. "Minho-yah?"
Minho tersenyum tipis. "Anyeonghaseyo, Yoona-ah, kita akhirnya bertemu lagi.."
Jaeri menatap Minho dan kakaknya bergantian, "Loh, kalian sudah saling kenal?"
Belum sempat dijawab oleh keduanya, Lee Minho bangkit dari duduknya. "Sepertinya sudah sore, saya harus pulang. Kau sudah mengerti dengan yang saya ajarkan tadi 'kan?" Ujar Minho menunjuk ke arah Jaeri. "Kalau begitu saya pulang dulu, sampai bertemu lagi," lanjutnya sambil memberi hormat setelah Jaeri mengangguk meng-iya-kan.
Ketika Minho sudah di ambang pintu, Jaeri mendekatinya. "Pak, tidak ngobrol-ngobrol dulu dengan kakak saya? 'kan baru ketemu."
Lagi-lagi Minho tersenyum, "Maaf ya, tapi saya buru-buru."
"Apa tidak ingin makan dulu? Bapak belum makan sore ini."
"Terima kasih," ucapnya menatap Jaeri untuk terakhir kalinya lalu kembali melangkah keluar.
Aku tahu tatapan itu, tatapan menahan diri dari sesuatu.
Jaeri hanya bisa melepas Minho menuju motornya kemudian pergi. Jaeri melihat pria itu semakin lama semakin menjauh. Dia menghela napas, "Baru saja merasakan dia ada di dekatku."
Jaeri kembali masuk ke dalam rumah kemudian menutup pintu depan. Wanita dengan kaos coklat itu mulai mendekati kakaknya. "Kak, apa aku boleh menanyakan sesuatu?"
"Tanya saja," ujar wanita itu sambil menaruh tas dan sekantung belanjaannya di atas meja.
"Kau dan Guruku, kalian ada hubungan apa?"
Yoona terdiam sejenak. Dia membalikkan tubuhnya ke arah sang adik dan menatapnya. Wajah Jaeri terlihat begitu serius mengajukan pertanyaan itu. Yoona tersenyum.
"Dia, dia itu mantan kekasihku."
-To Be Continued-
2 komentar:
Lucuu~
Tumben Yo ma Minho!
haha, bukannya tumben, tapi minho cocok meranin tokoh guru muda.. hehe makasih ya udah mau baca
Posting Komentar